Wednesday, 20 November 2013

Keutamaan Sholat Menggunakan Sorban Dan Jubah Putih




Sejarah mencatat para wali , ulama dan pejuang kemerdekaan syiar dan berjuang dengan menggunakan sorban putih, namun akibat dari tekanan pihak penjajah , kelompok yang menggunakan sorban dan jubah putih di berantas habis karna di anggap pemberontak, hingga akhirnya ummat islam di jawa sepakat menggunakan peci hitam sebagai pengganti sementara ( karena takut di anggap pemberontak ) hingga akhirnya zaman sekarang peci hitam menjadi budaya dan peci nasional dan penggunaan sorban dan jubah putih di anggap aneh , asing bahkan di anggap bi'dah.

Jamaaah Asy Syahadatain , Syaikhuna al-Mukarrom Sayyid Umar bin Ismail bin Yahya ( Abah Umar - Panguragan ) dan para pengikutnya selalu memakai pakaian putih ketika hendak melaksanakan shalat, dengan tujuan mengikuti sunnah dan meneladani Rasulullah SAW, ( namun sorban dan jubah di lepas ketika selesai beribadah dan memulai aktivitas masing masing ) karena banyak sekali khobar (hadits) yang menunjukkan keutamaan pakaian putih. Seperti hadits Ahmad dan at-Tirmidzi yang merupakan hadits hasan shohih, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan al-Hakim, dan menshohihkan serta menetapkan hadits tersebut at-Thabrani dalam kitab al-Kabir dari Samurah bin Jundab dan Daruqutny dalam kitab al-Ifrad dari Ibnu Umar, keduanya menganggap hadits marfu’ yang berbunyi “Pakailah oleh kalian pakaian putih karena sesungguhnya pakaian putih itu lebih suci dan nyaman di hati dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian”. Imam al-Munawi dalam kitab at-Taysir berkata “Pakailah oleh kalian pakaian putih— yakni dahulukanlah pakaian putih (sebagai kesunnahan) dari yang lainnya, baik berupa baju, surban, sarung, rida, sebab sesungguhnya pakaian putih itu lebih suci karena dapat menampakkan apa-apa yang mengenainya, baik berupa najis yang berbentuk ataupun noda. Dan pakaian putih lebih nyaman dihati karena menunjukkan sifat rendah diri, ketenangan, tidak adanya kesombongan  dan ujub— dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian”, yakni sebagai sunnah muakkad. Dan dimakruhkan mengkafani mayit dengan selain kain putih. Diriwayatkan juga dalam kitab al-Jami’ dengan kalimat “Pilihlah pakaian yang putih dan pakailah oleh orang-orang yang hidup diantara kalian dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian, karena pakaian putih itu sebaik-baik pakaian kalian”. Imam Sayuti menisbatkan hadits tersebut kepada imam Ahmad, Nasa’i dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrok dari Samuroh. Dan imam Munawi dalam kitab ad-Di’amah (83) menerangkan bahwa sanad hadits tersebut shohih. imam  al-Ghozali berkata dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, bahwa pakaian yang paling ia sukai adalah pakaian putih karena pakaian yang paling disukai Allah adalah putih, dan janganlah memakai pakaian yang bersifat aneh (nyentrik). Memakai pakaian hitam bukanlah sunnah dan tidak ada keutamaannya, bahkan sebagian golongan (ulama) memakruhkan melihat pakaian hitam karena dianggap sebagai bid’ah  yang diada-adakan setelah (sepeninggal) Rasulullah SAW. Al-Ghazali melanjutkan, bahwa surban pada zaman sekarang tetap disunnahkan.
jamaah asy syahadatain - abah umar cirebon
Ad-Dailamy meriwayatkan dalam kitab Musnad al-Firdaus dari jabir danmenganggapnya sebagai hadits marfu’ : “Dua roka’at dengan memakai surban adalah lebih baik dripad tujuh puluh roka’t tanpa memakai surban”. Iamam Munawi berkata dalam kitab at-Taysir: “Shalat itu seperti menghadap raja, dan masuk kehdapan raja  tanpa berhias adalah menyalahi tatakrama”. Dalam kitab Dar al-Ghomamah halaman 8 dikatakan : shalat satu roka’at dengan memakai surban adalah lebih baik daripada tujuh puluh rokaat tanpa surban. Dalam hadits dikatakan “Sholat sekali dengan memakai surban itu lebih baik daripad tujuh puluh kali tanpa memakai surban, satu kali sholat jum’t dengan memakai surban adalah sebanding dengan tujuh puluh jum’at tanpa memakai surban. (ad-Di’amah : 9 dan Jam’us Shoghir juz 2 : 47), dan tidak demikian dalam masalah memakai Thoilasan (kerudung surban). Dan dapat dibedakan antara surban dan Thoilasan, karena kesunnahan memakai surban itu suatu yang umum pada asal ketetapannya, dan tidak dianggap adanya ketidak sesuaian dengan adat istiadat (Tuhfatul Muhtaj juz1 : 493). Dan warna surban yang paling utama adalah putih. Hadits shohih yang mengatakan bahwa Rasulullah memaki surban hitam dan turunnya malaikat pada perang badar dengan memakai surban kuning adalah peristiwa yang bersifat ihtimal (mengandung banyak kemungkinan dan penafsiran). Maka keshohihan hadits tersebut tidak bertentangan dengan keumuman hadits shohih yang memerintahkan memakai surban putih. Dan sesungguhnya pakaian putih dlah sebaik-baik pakain semaa hidup dan setelah mati. Dan tidak mengapa (diperbolehkan) memakai kopiah yang melekat pada kepala dan tinggi …….. dan yang lainnya yang dipakai dibawah surban, karena semuanya itu datang dari Nabi SAW (Tuhfatul Muhtaj juz 1 : 494). Rasulullah SAW bersabda :”Sholat dengan memakai surban memiliki sepuluh ribu kebaikan” (diriwayatkan oleh Ad-Dailamy dalam kitb Musnad al-Firdaus) sebagaimana terdapat dlm kitab Kunuzul Haqoiq juz 2 : 4.  dan dalam hamis kitab Tajrid as-Shorih Liahadits juz 1 : 53,  Rasulullah SAW bersabda :”Sholatlah kalian seperti kalian meliahat aku sholat.
Telah banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits bahwa warna yang paling disukai Allah adalah putih (Syamail : 120). Dalam kitab Jam’ul Wasail juz 1 : 121 dikatakan :”Sesunguhnya pakaian yang paling baik ketika menghadap Allah di dalam kubur kalian dan masjid-masjid kalian adalah yang berwarna putih. Dalam hadits tersebut mengandung isyarat bahwa seyogyanya bagi manusia kembali (menghadap) kepad Allah baik yang masih hidup maupun telah mati hendaknya dengan kesucin yang asli (tauhid) yang diserupakan dengan pakaian putih. Dan ketahuilah sesunguhnya kain putih adalah paling utama-utamanya kain kafan karena sesunguhnya mayit itu berada dihadapan malaikat. Demikian pula pakaian putih adalah yang pling utma bagi orang yang hendak menghadiri perayaan, hendak masuk masjid untuk shalat jum’at dan berjamaah dan ketika hendak berjumpa dengan ulama dan para pembesar. Atas hal itu terdapat penjelasan dalam hadits Abi Dzar yang diriwayatkan Bukhari Muslim, dimana ia berkata : Saya menghadap Nabi SAW dan beliau memakai Pakaian putih. Dalam riwayat Syaikhoni dari Abi Dzar disebutkan : Saya melihat Nabi SAW memakai pakaian putih (Syamail/Jam’ul Wasail juz 1 : 121 dan Tajrid as-Shorih juz 2 : 132). Dalam kitab Ihya Ulumuddin juz 1 : 332 dikatakan bahwa Rasulullah SAW memakai pakaian seadanya berupa sarung, rida, gamis, jubah atau yang lainnya, dan beliau menyukai pakaian yang berwarna hijau dan kebanyakan pakaian beliau berwarna putih. Dan beliau bersabda :”Pakaialah pakaian putih oleh orang-orang hidup diantara kalian dan kafanilah dengannya orang-orang mati diantara kalian”. Diriwyatkan dari Abu Hurairah r.a. “Rasulullah memakai jubah”. Dan dari Urwah  bin Mughirah bin Su’bah dari ayahnya, berkata : “sesungguhnya Nabi SAW memakai jubah bangsa romawi”--menurut riwayat Tirmidzi dan Abu Daud, jubah dari bulu dari jubah-jubah bangsa romawi. Tetai pada kebanyakan riwayat Bukhari Muslim dan lainnya dikatakan “jubah bangsa Syam” (Jam’ul Wasail : 122). Dinisbtkannya jubah tersebut pada bangsa Romawi atau bangsa Syam itu karena jubah merupakan pekerjaan/usaha atau pakaian mereka. (Jam’ul Wasail). Dalam kitab Muattho’ dan Musnad Abi Daud, sesungguhnya jubah itu (jubah bulu) dipakai ketika Nabi shalat subuh. Hadits Muslim dari riwayat abbad bin Ziyad dari Urwah bin mughiroh dari ayahnya berkata : saya berangkat bersama Rasulullah sehingga menemukan oran-orang yang sedang menjadikan Abdurrohman bin Auf sebagai imam, maka Nabi pun shalat bersama mereka, dan Nabi SAW mendapatinaya pada rakaat akhir. Dan ketika Abdurrahman membaca salam, Rasulullah berdiri dan menyelesaikan shalatnya, dan orang-orang terkejut dengan itu (Rasulullah bermakmum pada Adurrahman). Pada riwayat lain dikatakan : dan saya hendak menarik mundur (menjadikan makmum) Abdurrahman dan Nabi SAW bersabda “biarkanlah seperti itu. Demikian yang dikatakan oleh syeikh Mirok. dikatakan dalam Jam’ul Masail, dengan demikian dapat diambil kesimpulan dari hadits ini diperbolehkannya memanfaatkan (memakai) pakaian orang-orang kafir, kecuali telah nyata najisnya, karena Rasulullah SAW memakai jubah bangsa  Romawi dan tidak menelitinya terlebih dahulu (Jam’ul Wasail juz 1 : 123).
Apa yang dikutip dari Sahabat tentang melonggarkan lengan baju itu didasarkan atas sangkaan bahwa lafadz “Akmam” adalah jama’ dari lafadz “Kammun  padahal bukanlah demikian adanya, tetapi jamak dari lafadz “kummatun” yaitu sesuatu yang diletakkan diatas kepala, seperti peci. Maka orang yang mengatakan demikan itu belum pernah mendengar qaul (perkataan) para ulama : termasuk bid’ah yang tercela melebarkan Kummain, hal itu dimungkinkan  jika melebarkannya dengan berlebihan. Sedangkan yang diriwayatkan oleh sahabat adalah sebaliknya, dan itu cukup jelas bahkan dapat dipastikan. Dan karena itu, pengarang kitab Nutfi berkata berdasarkan kitab-kitab para ulama : disunnatkan melebarkan lengan baju seukuran satu jengkal (Jam’ul Wasail juz 1 : 123). Pada dasarnya perbuatan dan perilaku Rasulullah SAW adalah untuk penetapan syari’at dan penjelasannya, selama perbuatan dan perilaku itu tidak bertentangan dengan dalil yang bertentangan yang menghendaki adanya kekhususan (Syama’il juz 1 : 123). Tetapi pada umumnya perkara dzohir merupakan tanda-tanda (ciri) keadaan bathin yang dijadikan patokan bagi sucinya hati dan ma’rifat kepada Allah dzat yang maha mengetahui alam ghaib. Karena itu diriwayatkan dalam sebuah riwayat : Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa/bentuk, harta kalia, tetapi melihat pada hati-hati kalian. Kesimpulannya, bahwa keadaan dzohir merupakan ciri (gambaran) dari keadaan bathin, yakni kebersihan, kesucian dn keindahan dzohir mempunyai pengaruh besar terhadap masalah bathin (Syama’il juz 1 : 123).
Sumber : 

Landasan Muamalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam Segala Urusan Ibadah : Kyiai Hazim , Munjul Pesantren Cirebon

No comments:

Post a Comment