Monday, 25 November 2013

cerita musa (Maulana Jalaluddin Rumi)

Musa berjumpa dengan seorang penggembala di tengah jalan, yang tengah berteriak, “Wahai Tuhan yang memutuskan sebagaimana yang Engkau kehendaki,

Dimanakah Engkau, supaya aku dapat mengabdi kepada-Mu dan menjahit sepatu-Mu dan menyisir rambut-Mu?

Agar aku dapat mencuci pakaian-Mu dan membunuh kutu-kutu-Mu dan menyediakan susu untuk-mu, O pujaanku.

Supaya aku dapat mencium tangan-Mu yang mungil dan mencuci kaki-Mu yang kecil dan membersihkan kamar-Mu yang mungil di saat tidur.”

Mendengar kata-kata dungu ini, Musa berseru, “Hai, kepada siapakah engkau berteriak?

Ocehan apa ini? Fitnah dan ngawur! Sumbatlah mulutmu dengan kapas!

Sesungguhnya persahabatan dari seorang yang bodoh itu permusuhan: Tuhan Yang Maha Luhur tidak menghendaki pelayanan seperti itu.”

Penggembala itu menyobek pakaiannya, menghela napasnya, lalu melanjutkan perjalanan menuju ke hutan belantara.

Kemudian turunlah wahyu kepada Musa: “Engkau telah memisahkan hamba-Ku dari-Ku.

Apakah engkau diutus sebagai seorang Nabi untuk menyatukan, atau untuk memisahkan?

Aku telah memberikan kepada setiap orang gaya pemujaan yang khusus, Aku telah melimpahkan pada setiap manusia bentuk pengungkapan yang khas.

Ungkapan Hindustan adalah yang terbaik bagi orang Hindustan; bahasa Sind adalah yang terbaik bagi masyarakat Sind.

Aku tidak memandang lidah dan ucapan, Aku memandang pada jiwa dan perasaan batin.

Aku memandang kepada hati untuk mengetahui apakah ia rendah, walau kata-kata yang terucap tidak rendah.

Cukup dengan ucapan-ucapan dan kesombongan serta kiasan-kiasan! Aku ingin terbakar, terbakar dan terbiasa dengan keterbakaran!

Nyalakanlah bara cinta di dalam jiwamu, bakarlah seluruh pikiran dan ungkapan.

Wahai Musa, mereka yang paham ketentuan-ketentuan adalah satu macam, mereka yang jiwanya terbakar adalah macam yang lain.”

Agama cinta lepas dari segala agama. Para pecinta Tuhan tidak mempunyai agama melainkan Tuhan itu sendiri.

(Maulana Jalaluddin Rumi)

1 comment: