Saturday, 30 November 2013

KAROMAH IMAM AHLUSSUNNAH ABAD 21


Abuya Al Imam Al Muhadits Assayyid Muhammad Al Hasan Ibn As Sayyid 'Alawiy Al Maliki Al Hasani, beliau memohon kepada Kanjeng Rosul SAW untuk kerso menjadi Mudir Rubath Rushoifah dan beliau berkhidmah kepada Kanjeng Rosul SAW, dan Kanjeng Rosul SAW KERSO.

Hingga, dalam menentukan segala macam bentuk keputusan, beliau akan meminta pertimbangan kepada Kanjeng Rosul SAW, termasuk penerimaan santri dakhili di Rubath beliau, semuanya hasil istikhoroh beliau dan keputusan Kanjeng Rosul SAW.

Begitu dekatnya beliau dengan datuknya tersebut, hingga dalam banyak kesempatan Kanjeng Rosul SAW KERSO hadir di majelis beliau, untuk memberi nasihat dan pengarahan secara langsung, dalam keadaan sadar, dan tanpa hijab. Walloohu A'lam...

Kisah ini mutawatir dan sangat masyhur, mohon tidak usah tanya sumbernya. Silahkan bertanya kepada mutkhorijin Rubath Rushoifah di sekitar daerah anda tinggal...

Lahumul Faatihah...
http://ngrumi.blogspot.com/

Ketika Malam Tiba

Telah kau dapatkan di dunia ini
pakaian indah dan kekayaan,
tapi ketika kau bertolak
tinggalkan dunia ini,
bagaimana kiranya keadaanmu?

Pelajari lah suatu perniagaan
yang akan memberimu ampunan.

Di semesta dibalik semesta ini,
terdapat pula jual-beli dan perniagaan.
Keuntungannya sedemikian rupa:
dunia ini bagaikan mainan 
dibandingkan dengannya.

Bagaikan kanak-kanak yang sedang berkhayal
berjual-beli di toko kembang-gula,
dunia ini sebuah permainan.

Ketika malam tiba,
si anak pulang ke rumah:
lapar,
sendirian.


Sumber:
Rumi: Matsnavi  II: 2593 - 2599
Versi terjemahan Bahasa Inggris oleh Camille dan Kabir Helminski.
Transliterasi dari Bahasa Persia oleh Yahya Monastra.


Monday, 25 November 2013

cerita musa (Maulana Jalaluddin Rumi)

Musa berjumpa dengan seorang penggembala di tengah jalan, yang tengah berteriak, “Wahai Tuhan yang memutuskan sebagaimana yang Engkau kehendaki,

Dimanakah Engkau, supaya aku dapat mengabdi kepada-Mu dan menjahit sepatu-Mu dan menyisir rambut-Mu?

Agar aku dapat mencuci pakaian-Mu dan membunuh kutu-kutu-Mu dan menyediakan susu untuk-mu, O pujaanku.

Supaya aku dapat mencium tangan-Mu yang mungil dan mencuci kaki-Mu yang kecil dan membersihkan kamar-Mu yang mungil di saat tidur.”

Mendengar kata-kata dungu ini, Musa berseru, “Hai, kepada siapakah engkau berteriak?

Ocehan apa ini? Fitnah dan ngawur! Sumbatlah mulutmu dengan kapas!

Sesungguhnya persahabatan dari seorang yang bodoh itu permusuhan: Tuhan Yang Maha Luhur tidak menghendaki pelayanan seperti itu.”

Penggembala itu menyobek pakaiannya, menghela napasnya, lalu melanjutkan perjalanan menuju ke hutan belantara.

Kemudian turunlah wahyu kepada Musa: “Engkau telah memisahkan hamba-Ku dari-Ku.

Apakah engkau diutus sebagai seorang Nabi untuk menyatukan, atau untuk memisahkan?

Aku telah memberikan kepada setiap orang gaya pemujaan yang khusus, Aku telah melimpahkan pada setiap manusia bentuk pengungkapan yang khas.

Ungkapan Hindustan adalah yang terbaik bagi orang Hindustan; bahasa Sind adalah yang terbaik bagi masyarakat Sind.

Aku tidak memandang lidah dan ucapan, Aku memandang pada jiwa dan perasaan batin.

Aku memandang kepada hati untuk mengetahui apakah ia rendah, walau kata-kata yang terucap tidak rendah.

Cukup dengan ucapan-ucapan dan kesombongan serta kiasan-kiasan! Aku ingin terbakar, terbakar dan terbiasa dengan keterbakaran!

Nyalakanlah bara cinta di dalam jiwamu, bakarlah seluruh pikiran dan ungkapan.

Wahai Musa, mereka yang paham ketentuan-ketentuan adalah satu macam, mereka yang jiwanya terbakar adalah macam yang lain.”

Agama cinta lepas dari segala agama. Para pecinta Tuhan tidak mempunyai agama melainkan Tuhan itu sendiri.

(Maulana Jalaluddin Rumi)

Nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya: (keledai)

Nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya:

"Wahai anakku, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan dirimu, baik itu mengenai agamamu maupun duniamu, dan laksanakanlah semua urusanmu itu hingga tuntas. Jangan engkau pedulikan orang lain dan tak usah engkau dengar perkataan dan cemoohan mereka. Karena bagaimanapun engkau tidak akan mampu untuk membuat semua mereka menjadi puas, dan engkau pun tidak akan mampu untuk mempersatukan semua hati mereka".

Dan sesudah itu Luqman pun menyuruh anaknya untuk mengambil seekor keledai, "Anakku, bawalah kemari seekor keledai, mari kita lihat apa komentar orang-orang nanti, mereka selamanya tidak akan puas dalam melihat orang lain".

Tak lama kemudian anak itu pun datang dengan membawa keledai yang diminta. Kemudian Luqman naik ke atas punggung keledai tersebut dan menyuruh anaknya untuk berjalan menuntun binatang itu, sementara ia enak-enak duduk di atas punggungnya.

Dalam perjalanan, lewatlah mereka pada sekumpulan orang, dan ketika mereka melihat pemandangan yang ganjil itu orang-orang pun berkata, "Anak kecil disuruh berjalan, sedangkan yang sudah tua itu malah enak-enak di atas kendaraan, betapa kejamnya dan tak tahu malu orang tua itu!"

"Apa kata orang-orang itu wahai anakku?", tanya Luqman kepada anaknya. Dan setelah anak itu menerangkan atas apa yang telah mereka cemoohkan, Luqman pun turun dari atas punggung kendaraannya dan menyuruh anaknya untuk naik, dan sekarang giliran Luqman yang menuntun keledai.

Berikutnya ketika mereka melewati kerumunan orang yang lain, terdengarlah perkataan-perkataan mereka, "Yang kecil naik, sedang orang yang sudah tua renta seperti itu disuruh berjalan kaki, sungguh kejam anak itu dan tak tahu kesopanan".

"Apa kata mereka?", kata orang tua itu mengulangi pertanyaannya. Maka diterangkanlah oleh anak itu perihal apa yang telah diperkatakan orang-orang. Dan kini kedua insan anak dan bapak itu bersama-sama naik ke atas punggung binatang itu. Sehingga keduanya tiba di suatu tempat, ketika mereka melewati kerumunan orang yang berikutnya, mereka pun berkata, "Dua orang berbonceng-boncengan di atas punggung seekor keledai, padahal dua orang itu sakit tidak, lemah pun tidak, ah sungguh tak kenal belas kasihan kedua orang itu terhadap binatang".

Luqman bertanya pula kepada anaknya, "Apa kata orang-orang itu wahai anakku?".

Dan setelah anak itu menjawab, maka tak ada pilihan lain kecuali keduanya harus turun dari punggung keledai dan menuntunnya bersama-sama sambil berjalan kaki.

"Subhanallah!" orang terheran-heran melihat keledai yang segar-bugar dan kuat itu berjalan tanpa muatan, sementara kedua pemiliknya malah berjalan kaki menuntunnya bersama-sama. "Kenapa salah seorang tak mau menaikinya?", kata mereka.

Sekali lagi Luqman bertanya kepada anaknya, "Apa kata mereka wahai anakku?". Dan setelah anak itu menerangkan persoalan tersebut, berkatalah Lukman, "Wahai anakku, bukankah telah aku katakan kepadamu, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan bagi dirimu, jangan pedulikan perkataan-perkataan orang. Semua hal tadi aku lakukan kepadamu tak lain hanya untuk memberikan suatu pelajaran kepadamu".

Ketika cemoohan dan pujian dari manusia telah dirasakan sama, maka inilah mulanya anugerah keikhlasan dari Allah Ta'ala tercurah kepada qalbu kita. Dzun Nun Al-Mishri menjelaskan, "Ada tiga tanda keikhlasan: Pertama, manakala seseorang telah memandang pujian dan celaan manusia sebagai hal yang sama saja. Kedua, apabila seseorang yang sedang mengerjakan amal kebaikan tidak menyadari bahwa dia sedang mengerjakan suatu kebaikan. Dan ketiga, jika seseorang telah lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya."

nabi sulaiman kecil

Suatu pagi, Sulaiman kecil melihat pandai emas yang bekerja untuk Istana Raja Daud as berjalan keluar dari istana dengan wajah yang terlihat sangat putus asa dan sedih. Dengan penasaran Sulaiman bertanya kepada pandai emas tersebut: “Paman, apa gerangan yang telah membuat Paman merasa begitu sedih dan putus asa?” Pandai emas itu menjawab: “Aku harus memberikan solusi bagi Raja dalam waktu tujuh hari. Jika tidak, maka aku akan dipecat dari pekerjaanku. Aku benar-benar bingung karena tidak ada solusi untuk apa yang telah diminta oleh Raja.

“Solusi apakah gerangan yang sedang dicari Raja?” tanya Sulaiman penasaran.Sang pandai emas menceritakan kepada Sulaiman apa permintaan sang Raja: “Saya harus membuat cincin emas untuk sang raja dengan sebuah tulisan di atasnya yang harus membantu sang Raja untuk tidak menjadi terlalu bahagia sehingga melupakan kebenaran Ilahi pada saat-saat bahagia tersebut. Pada saat yang sama, tulisan itu harus membantunya untuk tidak terlalu berduka ketika ia menghadapi kegagalan dan keputusasaan.

Maka, spontan saja Sulaiman mengusulkan kata apa yang harus dituliskan di atas cincin itu: “Paman, tuliskan saja ‘GAM ZEH YA'AVOR' (Ini juga akan berlalu)."

*******

"Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS Al-Hadid [57]: 23)

iri dalam kebaikan

Khalifah ‘Umar menuturkan sebuah riwayat:

Pada suatu hari Rasulullah saw meminta bantuan dana kepada kami. Aku berhasrat untuk melebihi Abu Bakar, yang selalu berada di atasku, dalam setiap perbuatan baik. Aku membawa separo harta kekayaanku dan datang menemui Rasulullah. Lalu kuberitahukan kepada beliau bahwa sumbanganku ini separo dari segala yang kumiliki, sedangkan sisanya kutinggalkan untuk keluargaku. Abu Bakar datang dengan sekantung besar emas dan meletakkannya di kaki Rasulullah. Junjungan kita bertanya kepadanya tentang jumlah sumbangan yang diberikan itu kira-kira berapa persen dari seluruh harta yang dimilikinya. Abu Bakar menjawab, ”Semuanya!” Rasulullah menatapku, lalu bertanya kepada Abu Bakar, ”Mengapa tidak engkau simpan sebagian untuk anak-anakmu?” Abu Bakar menjawab, ”Anak-anakku berada di bawah pemeliharaan Allah dan Rasul-Nya.”

Setelah peristiwa itu, Abu Bakar tak tampak selama beberapa hari, dan bahkan tidak muncul di masjid Rasulullah saw. Karena merasa sepi akibat ketidakhadiran Abu Bakar, Rasulullah lalu menanyakan di manakah gerangan dia berada. Para sahabat menjawab bahwa Abu Bakar telah menyumbangkan seluruh harta miliknya dan kini tidak memiliki apa-apa lagi untuk dikenakan kecuali selembar kain yang dipakainya bersama dengan istrinya. Mereka memakainya bergantian untuk menutup aurat pada saat shalat. Pada saat itu jugalah Rasulullah saw mengutus Bilal ke rumah putri Rasulullah, Fathimah, dan menanyakan kepadanya apakah ia mempunyai selembar kain tak terpakai yang dapat diberikan kepada Abu Bakar supaya dia dapat menutupi auratnya dan pergi ke masjid. Fathimah yang mulia hanya memiliki selembar kain yang terbuat dari bulu domba. Kain itu lalu diserahkan kepada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar melingkarkan kain itu ke pinggangnya, kain itu terlalu pendek. Kemudian dia menyambungnya dengan daun kurma hingga dapat menutupi auratnya secara layak dan sopan. Setelah itu barulah dia pergi ke masjid.

Sebelum Abu Bakar sampai di masjid, malaikat Jibril menjumpai junjungan kita dengan mengenakan pakaian yang tak layak seperti yang dikenakan Abu Bakar. Ketika Rasulullah saw berkata kepada Jibril bahwa beliau tidak pernah melihatnya mengenakan pakaian seaneh itu sebelumnya, Jibril menjawab bahwa pada hari itu seluruh malaikat di Surga mengenakan pakaian seperti itu untuk menghormati Abu Bakar, orang yang sangat setia, murah hati, dan beriman. Allah Yang Mahakuasa memberkati dan memberikan penghormatan kepada Abu Bakar. Malaikat Jibril berkata: ”Sampaikan kepadanya bahwa Tuhannya mencintainya jika ia mencintai Tuhannya!” Ketika Abu Bakar menghadap junjungan kita dan mendengar berita baik ini dari bibir Rasulullah saw yang tercinta, dia bersyukur kepada Allah dan berkata, ”Sungguh aku mencintai Tuhanku!” Dan dalam kegembiraannya itu dia berputar-putar sampai tiga kali.

**********************
Catatan tambahan:
**********************

Dari pihak ayahnya, leluhur Jalaluddin, selama masa-masa Islam, adalah Abu Bakar, sahabat tercinta dan terpercaya Nabi Muhammad sa., dan penggantinya dalam memerintah masyarakat Islam, sebagai khalifah pertamanya.

Seperti Nabi Muhammad sendiri, Abu Bakar adalah dari suku Quraysy, yang mengaku keturunan--melalui Nabi Isma'il--Nabi Ibrahim, sahabat-terpilih Allah, dan ayah kaum Mukmin. Pokok dari cabang suku Abu Bakar berpadu dengan cabang Nabi Muhammad saw pada Murra, leluhur Nabi Muhammad saw pada derajat ketujuh, dan leluhur Abu Bakar pada derajat keenam.

Selanjutnya, Abu Bakar adalah salah seorang mertua Nabi Muhammad saw, karena putrinya, 'A'isyah, adalah satu-satunya istri Nabi Muhammad saw yang dinikahi dalam keadaan masih gadis.

Seorang putra atau cucu Abu Bakar, menurut riwayat, adalah salah seorang di antara orang-orang Arab yang menaklukkan Khurasan selama kekhalifahan 'Utsman, sekitar tahun 25 Hijri (647 Masehi) dan bermukim di Balkh (ibukota Baetria kuno), di mana keluarganya berkembang sampai setelah kelahiran Jalaluddin.

Setidaknya kita bisa mendapat gambaran, kira-kira dari mana asalnya tari "Whirling Darvish", tarian berputar-putar yang termasyhur dalam thariqah Mawlawiyyah, thariqah yang didirikan oleh Maulana Jalaluddin Rumi.

umar ra & Abu Dzar ra

Suatu hari pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar, ketika ‘Umar sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya, tiga pemuda bangsawan yang tampan memasuki majelisnya. Dua orang di antaranya berkata, “Kami berdua bersaudara. Ketika ayah kami sedang bekerja di ladangnya, dia dibunuh oleh pemuda ini, yang sekarang kami bawa kepada tuan untuk diadili. Hukumlah dia sesuai dengan Kitabullah.” Khalifah ‘Umar menatap orang yang ketiga dan memintanya berbicara.

“Walaupun di sana tidak ada saksi sama sekali, Allah, Yang Selalu Hadir, mengetahui bahwa mereka berdua berkata yang sebenarnya,” kata si terdakwa itu.

“Aku sangat menyesal ayah mereka terbunuh di tanganku. Aku orang dusun. Aku tiba di Madinah tadi pagi untuk berziarah ke makam Rasulullah saw. Di pinggir kota, aku turun dari kudaku untuk menyucikan diri dan berwudhu. Kudaku mulai memakan ranting-ranting pohon kurma yang bergelantungan melewati tembok. Segera setelah aku melihatnya, aku menarik kudaku menjauhi ranting-ranting tersebut. Pada saat itu juga, seorang lelaki tua yang sedang marah mendekatiku dengan membawa sebuah batu yang besar. Dia melemparkan batu itu ke kepala kudaku, dan kudaku langsung mati. Karena aku sangat menyayangi kuda itu, aku kehilangan kendali diri. Aku mengambil batu itu dan melemparnya kembali ke orang tersebut. Dia roboh dan meninggal. Jika aku ingin melarikan diri, aku dapat saja melakukannya, tetapi ke mana? Jika aku tidak mendapatkan hukuman di sini, di dunia ini, aku pasti akan mendapatkan hukuman yang abadi di akhirat nanti. Aku tidak bermaksud membunuh orang itu, tetapi kenyataannya dia mati di tanganku. Sekarang tuanlah yang berhak mengadili aku.”

Khalifah berkata, ”Engkau telah melakukan pembunuhan. Menurut hukum Islam, engkau harus menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang telah engkau lakukan.”

Walaupun pernyataan itu berarti satu pengumuman kematian, pemuda itu tetap bersabar; dan dengan tenang dia berkata, ”Kalau begitu, laksanakanlah. Namun, aku menanggung satu tanggung jawab untuk menyimpan harta kekayaan anak yatim yang harus kuserahkan kepadanya bila ia telah cukup umur. Aku menyimpan harta tersebut di dalam tanah agar aman. Tak ada seorang pun yang tahu letaknya kecuali aku. Sekarang aku harus menggalinya dan menyerahkan harta tersebut kepada pengawasan orang lain. Kalau tidak, anak yatim itu akan kehilangan haknya. Beri aku tiga hari untuk pergi ke desaku dan menyelesaikan masalah ini.”

’Umar menjawab, ”Permintaanmu tidak dapat dipenuhi kecuali ada orang yang bersedia menggantikanmu dan menjadi jaminan untuk nyawamu.”

”Wahai Amirul Mukminin,” kata pemuda tersebut, ”Aku dapat melarikan diri sebelumnya jika aku mau. Hatiku sarat dengan rasa takut kepada Allah; yakinlah bahwa aku akan kembali.”

Khalifah menolak permintaan itu atas dasar hukum. Pemuda itu memandang kepada para pengikut Rasulullah saw yang mulia yang tengah berkerumun di sekeliling khalifah. Dengan memilih secara acak ia menunjuk Abu Dzar Al-Ghifari dan berkata, ”Orang ini akan menjadi jaminan bagiku.” Abu Dzar adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw yang paling dicintai dan disegani. Tanpa keraguan sedikit pun, Abu Dzar setuju untuk menggantikan pemuda itu.

Sang terdakwa itu pun dibebaskan untuk sementara waktu. Pada hari ketiga, kedua penggugat itu kembali ke sidang khalifah. Abu Dzar ada di sana, tetapi terdakwa itu tidak ada. Kedua penggugat itu berkata: ”Wahai Abu Dzar, Anda bersedia menjadi jaminan bagi seseorang yang tidak Anda kenal. Seandainya dia tidak kembali, kami tidak akan pergi tanpa menerima pengganti darah ayah kami.”

Khalifah berkata: ”Sungguh bila pemuda itu tidak kembali, kita harus melaksanakan hukuman itu kepada Abu Dzar.” Mendengar kata-kata tersebut, setiap orang yang hadir di sana mulai menangis, karena Abu Dzar, orang yang berakhlak sempurna dan bertingkah laku sangat terpuji, merupakan cahaya dan inspirasi bagi semua penduduk Madinah.

Ketika hari ketiga itu mulai berakhir, kegemparan, kesedihan dan kekaguman orang-orang mencapai puncaknya. Tiba-tiba pemuda itu muncul. Dia datang dengan berlari dan dalam keadaan penat, berdebu dan berkeringat. ”Aku mohon maaf karena telah membuat Anda khawatir,” dia berkata terengah-engah, ”Maafkan aku karena baru tiba pada menit terakhir. Terlalu banyak yang harus aku kerjakan. Padang pasir sangatlah panas dan perjalanan ini teramat panjang. Sekarang aku telah siap, laksanakanlah hukumanku.”

Kemudian dia berpaling kepada kerumunan massa dan berkata, ”Orang yang beriman selalu menepati ucapannya. Orang yang tidak dapat menepati kata-katanya sendiri adalah orang munafik. Siapakah yang dapat melarikan diri dari kematian, yang pasti akan datang cepat atau lambat? Apakah saudara-saudara berpikir bahwa aku akan menghilang dan membuat orang-orang berkata, ‘Orang-orang Islam tidak lagi menepati ucapannya sendiri?’”

Kerumunan massa itu kemudian berpaling kepada Abu Dzar dan bertanya apakah ia sudah mengetahui sifat yang terpuji dari pemuda tersebut. Abu Dzar menjawab, “Tidak, sama sekali. Tetapi, saya tidak merasa mampu untuk menolaknya ketika dia memilih saya, karena hal itu sesuai dengan asas-asas kemuliaan. Haruskah saya menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tak ada lagi perasaan haru dan kasih sayang yang tersisa dalam Islam?”

Hati dan perasaan kedua penggugat itu tersentuh dan bergetar. Mereka lalu menarik tuduhannya, seraya berkata, “Apakah kami harus menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tiada lagi rasa belas kasihan di dalam Islam?”

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (QS Maryam [19]: 96)

kerinduan akan rasulullah saw

Suatu hari, setelah memendam kerinduan yang luar biasa sekian lama kepada Rasulullah Saw, 'Umar bin Al-Khaththab berujar di hadapan makam Rasulullah saw:

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, ada suatu pangkal pohon kurma yang sering engkau jadikan sebagai tempat berkhutbah di hadapan manusia. Ketika manusia semakin bertambah banyak, engkau pun mengambil mimbar untuk menyampaikan pesan-pesanmu. Karenanya, betapa sedih pangkal pohon kurma itu berpisah denganmu. Kemudian, kala engkau letakkan tanganmu di atasnya, barulah ia tenang. Umatmu lebih merindukanmu, wahai Rasul, karena engkau berpisah dengan mereka.

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, keutamaanmu telah sampai kepada sis Allah. Sehingga Dia menjadikan ketaatan kepadamu sama dengan ketaatan kepada-Nya. Allah Swt berfirman, Barang siapa mematuhi Rasul, sungguh ia telah mematuhi Allah (QS Al-Nisa [4]: 80)

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, keutamaanmu telah sampai kepada sisi-Nya. Sehingga Dia memberitahukan kepadamu bahwa engkau telah dimaafkan oleh-Nya sebelum Dia memberitahukan kepadamu tentang dosamu melalui firman-Nya, Kiranya Allah memaafkanmu. Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)? (QS Al-Taubah [9]: 43).

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh keutamaanmu telah sampai kepada sisi-Nya. Sehingga Dia mengutusmu sebagai penghabisan para nabi dan menyebutmu pada permulaan para nabi melalui firman-Nya, Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh (QS Al-Ahzab [33]: 7).

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh keutamaanmu telah sampai kepada sisi-Nya. Sehingga para penghuni neraka ingin mematuhimu, sementara mereka sedang di siksa di antara lapisan-lapisan neraka. Mereka mengatakan, Alangkah baik andaikan kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul! (QS Al-Ahzab [33]: 66)

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, andaikan memang Musa putra 'Imran telah dikaruniai batu oleh Allah, sehingga air pun memancar darinya laksana sungai, apakah hal itu lebih menakjubkan dari jemarimu yang bisa memancarkan air? Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, andaikan memang Sulaiman putra Daud telah dikaruniai angin oleh Allah dengan kecepatan, baik pagi maupun sore, sejauh perjalanan sebulan, tetapi apakah hal itu lebih menakjubkan daripada Buraq yang menjadi tungganganmu di dalam perjalananmu pada malam hari menuju langit ketujuh, kemudian engkau melakukan shalat subuh pada malam itu pula di Abthah? Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh, andaikan memang Isa putra Maryam telah dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk dapat menghidupkan kembali orang mati,tetapi apakah hal itu lebih menakjubkan daripada kambing yang diracuni ketika ia berbicara denganmu, padahal kambing itu sudah digoreng, lewat pahanya, 'Janganlah engkau memakanku, karena aku beracun!'

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Sungguh Nuh telah mendoakan terhadap kaumnya dengan mengatakan, Ya Tuhanku! Janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di bumi! (QS Nuh [71]: 26). Andaikan engkau mendoakan kami seperti itu, niscaya kami semua akan binasa! Namun, meski punggungmu telah bungkuk, wajahmu telah berdarah-darah, sendi-sendimu telah hancur, engkau tetap enggan mengatakan selain kebajikan dengan doamu, 'Ya Allah Tuhanku! Ampunilah kaumku. Sungguh, mereka tidak mengetahui!'

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Dengan usiamu yang sedikit dan pendek, engkau telah diikuti oleh manusia yang mengikuti Nuh dengan usianya yang banyak dan panjang. Sungguh, telah beriman kepadamu anak manusia dalam jumlah yang banyak, sementara tidak beriman kepada Nuh selain hanya sejumlah kecil anak manusia!

Demi ibu-bapakku, wahai Rasul! Andaikan engkau tidak mengambil teman duduk selain orang-orang yang sepadan denganmu, tentulah engkau tidak akan duduk bersama kami. Andaikan engkau tidak menikahi selain wanita-wanita yang sepadan denganmu, tentulah engkau tidak menikahi sebagian dari kelompokmu. Dan andaikan engkau tidak mewakilkan selain kepada orang-orang yang sepadan denganmu, tentulah engkau tidak mewakilkan kepada kami. Namun, sungguh demi Allah, engkau telah duduk bersama kami, menikah dengan sebagian dari kelompok kami, dan mewakilkan sesuatu kepada kami. Juga, engkau memakai bulu, engkau mengendarai keledai. Engkau ikutkan orang di belakangmu. Engkau letakkan makananmu di atas lantai dan engkau ambil makanan dengan jemarimu. Ini semua karena engkau merendahkan diri. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepadamu!" 


fb: alfatri adlin

tamu (Maulana Jalaluddin Rumi)

Sayangku, jasad ini adalah sebuah Rumah Tamu; setiap pagi ada tamu baru yang datang.

Janganlah berkata: “Wah, ada beban tambahan melingkari leherku!” atau tamumu akan melesat kembali ke ketiadaan.

Apa pun yang memasuki qalb-mu, ia adalah seorang tamu dari alam yang tidak tampak: sambutlah dengan baik!

Setiap hari, setiap saat, sebuah pikiran mendatangi, bagaikan seorang tamu kehormatan ke dalam qalb-mu.

Wahai jiwaku, perlakukan setiap gerakan qalb sebagai seorang manusia, karena nilai seseorang terletak pada qalb-nya.

Jika yang menghadang di jalan adalah ingatan yang menyedihkan, ia juga tengah giat menyiapkan kedatangan kegembiraan.

Dengan giat ia menyapu bersih rumahmu, agar kegembiraan yang baru bisa muncul dari Sumbernya.

Ia mencerai-beraikan dedaunan layu dari dataran qalb-mu, agar daun yang segar dapat tumbuh.

Ia mencabut kegembiraan yang lama, agar suatu kegembiraan yang baru bisa datang dari Sebelah Sana.

Kesedihan mencabut akar busuk yang tersembunyi dari pandangan.

Kehilangan apa pun yang ditimbulkan kesedihan, atau yang membuat qalbmu terluka, ia menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.

Khususnya bagi mereka yang yakin bahwa kesedihan adalah abdi mereka yang bermata hati.

Tanpa lintasan awan dan petir, anggur akan terbakar oleh senyuman matahari.

Baik keberuntungan mau pun kesialan, keduanya adalah tamu di qalbmu: bagaikan planet yang berjalan dari satu tanda ke tanda lainnya.

Ketika sesuatu menyinggahi tandamu, sesuaikanlah dirimu, dan bersikaplah seharmonis mungkin dengan tanda utamanya,

Sehingga ketika ia bergabung kembali dengan Sang Rembulan, ia akan berkata yang baik-baik kepada Sang Penguasa Qalb.

Ketika kesedihan mendatangimu lagi, sambutlah ia dengan senyum dan tawa,

Katakanlah: “Wahai Penciptaku, selamatkanlah aku dari keburukannya, dan jangan pisahkan aku dari kebaikannya.

Tuhanku, ingatkanlah daku untuk selalu bersyukur, sehingga aku tidak akan menyesali manakala kemaslahatannya berlalu.”

Dan bila mutiaranya bukan berada dalam tangan kesedihan yang itu, lepaskanlah dan tetaplah merasa gembira.

Tingkatkanlah latihanmu mencerap rasa manis.

Kali lain, latihanmu itu akan memberimu maslahat; suatu hari tiba-tiba saja, kebutuhanmu akan terpenuhi.

(Maulana Jalaluddin Rumi)

**************************

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS Al-Baqarah [2]: 286)

"Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS Al-Hadid [57]: 23)

rasulullah senantiasa kedengaran suara keletak-keletik

Rasulullah Saw hari itu sedang menjadi imam shalat isya di Masjid Nabawi, Madinah. Para sahabat yang menjadi makmum kala itu, antara lain ‘Umar bin Al-Khaththab, merasa gelisah melihat keadaan Rasulullah Saw yang menurut mereka sedang sakit. Buktinya, setiap kali menggerakkan tubuh untuk ruku’, sujud, dan sebagainya, senantiasa kedengaran suara keletak-keletik, seakan tulang belulang beliau longgar semuanya. Karena itu, selepas mengucapkan salam, ‘Umar pun memberanikan diri bertanya kepada beliau dengan perasaan khawatir, “Wahai Rasul, apakah engkau sakit?”

“Tidak , ‘Umar. Aku sehat saja,” jawab Rasulullah saw ramah dan santun.

“Tapi, mengapa setiap kali engkau menggerakkan badan dalam shalat, kami mendengar bunyi tulang belulangmu berkeretakan?” cecar ‘Umar bin Al-Khaththab penuh rasa ingin tahu dan penasaran.

Mula-mula Rasulullah Saw tidak ingin mengungkapkan rahasianya. Namun, lantaran para sahabat tampak sangat khawatir atas keadaan beliau, maka beliau akhirnya membuka pakaian yang beliau kenakan. Tampak oleh para sahabat, beliau mengikat perutnya yang kempis dengan selembar kain yang di dalamnya diisi batu-batu kerikil agar mengganjal perut untuk menahan lapar. Dan, batu-batu itulah yang berbunyi keletak-keletik selama beliau menjadi imam salat.

Melihat yang demikian itu, dengan serta-merta ‘Umar bin Al-Khaththab pun memekik pedih dan perih, “Wahai Rasul! Apakah sudah sehina itukah anggapanmu kepada kami? Apakah engkau mengira seandainya engkau mengatakan lapar, kami tidak bersedia memberimu makanan yang paling lezat? Bukankah kami semua hidup dalam kecukupan?”

Rasulullah saw pun tersenyum ramah seraya menyahut, “Tidak, ‘Umar. Tidak. Aku tahu, kalian, para sahabatku, adalah orang-orang yang setia kepadaku. Apalagi sekadar makanan, harta, ataupun nyawa akan kalian serahkan untukku sebagai rasa cinta kalian kepadaku. Tetapi, di mana akan kuletakkan mukaku di hadapan pengadilan Allah kelak di Hari Pembalasan, apabila aku selaku pemimpin justru membikin berat dan menjadi beban orang-orang yang kupimpin?”

Musa maupun Fir’aun (Maulana Jalaluddin Rumi)

Baik Musa maupun Fir’aun adalah pemuja Yang Maha Benar, sekalipun tampaknya yang pertama menemukan jalan dan yang lainnya kehilangan.

Di siang hari Musa berseru kepada Tuhan: di tengah malam Fir’aun mulai merintih.

Katanya, “O Tuhan, belenggu apakah yang ada di leherku ini? Seandainya tak ada belenggu, siapa yang akan berkata ‘aku adalah aku’?”

Dengan takdir itu Engkau membuat Musa bercahaya, dengan takdir yang sama Engkau membuat aku gelap.

Kami berdua adalah sesama hamba yang mengabdi kepada-Mu; namun kapak-Mu membelah cabang-cabang lunak di dalam rimba-Mu.

Cabang-cabang yang tak berdaya terhadap kapak; yang satu benar-benar tercangkok kuat, lainnya dibiarkan tak terawat.

Aku memohon kepada-Mu, dengan kekuatan kapak-Mu, untuk melimpahkan rahmat dan meluruskan kebengkokanku.”

Sekali lagi Fir’aun berkata kepada dirinya sendiri dalam keheranan, “Bukankah aku beribadah sepanjang malam?

Dalam hatiku aku ini orang yang rendah hati dan patuh: bagaimana aku tampak begitu berubah ketika bertemu Musa?”

Apabila ketaberwarnaan menjadi tawanan warna, Musa menjadi musuh bagi Musa.

Apabila engkau mencapai ketakberwarnaan dari mana engkau berasal, Musa dan Fir’aun menjadi damai di tempat yang sama.

Jika engkau memintaku untuk menjelaskan rahasia ini, aku akan menjawab bahwa dunia yang berwarna tak dapat lepas dari adanya pertentangan.

Adalah keajaiban bahwa yang berwarna keluar dari yang tak berwarna: bagaimana yang berwarna muncul untuk berperang melawan yang tak berwarna?

Ataukah itu bukan peperangan yang sesungguhnya? Apakah demi tujuan Ilahi—suatu kecerdikan seperti perselisihan pedagang keledai?

Ataukah bukan ini atau bukan itu? Apakah hanya kebingungan semata? Harta karun harus dicari, dan kebingungan adalah reruntuhan yang di dalamnya terkubur harta itu.

Apa yang engkau bayangkan menjadi harta karun—konsepsi seperti itu menyebabkan engkau kehilangan harta karun yang sebenarnya.

Khayalan-khayalan dan opini-opini itu laksana masa perkembangan: harta karun tak ditemukan pada tempat-tempat perkembangan.

Pada masa perkembangan terdapat keberadaan dan sifat-sifat yang berlawanan: Ketiadaan menolak setiap sesuatu yang ada.

(Maulana Jalaluddin Rumi)

kefakiran

Apa artinya kekayaan tanpa pengemis? Kepemurahan tanpa tamu, jadilah pengemis dan tamu; karena kecantikan mencari cermin; air merintih bagi orang yang kehausan.

Keputusasaan dan kefakiran adalah pengikat yang lezat bagi batu permata rubi itu.

Kefakiranmu adalah buraq; janganlah menjadi keranda yang membebani pundak orang lain.

Syukurlah engkau tidak memiliki sarana apa pun; jika tidak demikian engkau akan bersikap seperti seorang Fir’aun. Doa Musa adalah: “Rabbi inni limaa anzalta ilayya min khairi fakiir.”

Jalan yang ditempuh Musa penuh dengan keputusasaan dan kefakiran dan itu adalah satu-satunya jalan menuju Tuhan.

Dari semenjak engkau masih bayi kapankah keputuasaan pernah mengecewakanmu?

Jalan yang ditempuh Yusuf membawanya masuk ke dalam sumur: janganlah melarikan diri meninggalkan papan catur dunia ini, karena ini adalah papan-Nya, dan kita mati langkah! Mati langkah.

Lapar membuat roti keras lebih lezat daripada halvah. Kegelisahanmu adalah kesalahan cerna makan bagi jiwamu; carilah kelaparan, kerinduan, dan kefakiran!

Tikus itu seekor pengerat. Tuhan memberinya akal yang sesuai dengan kefakirannya. Tanpa kefakiran, Tuhan tidak melimpahkan sesuatu pun.

Bagaimana caranya engkau akan membuat-Nya terkesan, bukankah hutangmu kepada-Nya tidak terhitung?

Seorang pengemis akan memperlihatkan kebutaan dan kustanya, tidaklah ia berkata: “Berilah aku roti, wahai kawan! Aku seorang kaya pemilik lumbung dan istana!”

Persembahkanlah seratus kantung emas, dan Tuhan akan berfirman: “Persembahkanlah qalb-mu!”

Dan jika engkau mempersembahkan qalb yang mati, bagaikan keranda di atas pundakmu, Tuhan akan bersabda: “Persembahkanlah qalb yang hidup! Persembahkanlah qalb yang hidup!”

Jika engkau tidak mempunyai ‘ilm dan hanya persangkaan, milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Itulah jalannya!

Jika engkau hanya mampu merangkak, merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau tidak mampu berdoa dengan khusyu’, persembahkanlah doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan; karena Tuhan dalam rahmat-Nya menerima mata uangmu yang palsu.

Jika engkau mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan, kurangilah jadi sembilan puluh saja. Itulah jalannya!

Wahai pejalan! Walaupun telah seratus kali engkau ingkar janji, datang dan datanglah lagi! Karena Tuhan telah berfirman: “Ketika engkau mengangkasa ataupun terperosok dalam jurang, ingatlah kepada-Ku, karena Akulah Jalan itu.”

(Maulana Jalaluddin Rumi)

Jalan kehidupan ruhani membuat badan remuk, dan kemudian memulihkannya menjadi sehat. Dia menghancurkan rumah untuk mengeluarkan harta karun, dan dengan harta ini dapat dibangun rumah yang lebih baik dari sebelumnya ...

(Maulana Jalaluddin Rumi)

Dia Ta'ala berkata kepadaku, "Wahai ghautsul 'azham, katakan kepada para sahabatmu, siapa pun di antara kalian yang menginginkan kedekatan dengan-Ku, maka hendaklah ia memilih kefakiran, lalu kefakiran dari kefakiran. Bila kefakiran telah sempurna, maka tak ada lagi apa pun selain Aku!"

(Risalah al-Ghautsiyah, Syaikh Abdul Qadir Jailani)

MURSYID

MURSYID | Semisal engkau hendak membakar kapas dengan memanfaatkan cahaya matahari, bukan dengan bantuan api atau korek api. Lalu kau pakai cara ini: letakkan kapas di bawah terik matahari. Kalau perlu, kau tunggu musim di mana matahari sedang panas-panasnya. Letakkan saja di atas batu. Kirakira, berapa lama kau mesti menunggu sampai kapas itu terbakar? Atau, kirakira, apakah kapas itu akan benar-benar terbakar oleh panas matahari?

Tentu kau tahu ada cara lebih mudah untuk membakar kapas dengan cahaya matahari: menggunakan kaca pembesar -- maka dalam hitungan menit kapas itu akan segera terbakar.

Seperti kaca pembesar itu, demikianlah fungsi mursyid bagimu. Ia akan membantumu terbakar oleh cahaya cinta Tuhan.

Seorang Mursyid, pada satu sisi, adalah seperti sahabat yang tenang, tempat di mana kita bisa menaruh kepercayaan. Mursyid tak membuat kita silau dengan berbagai gagasan teosofi dan teologi yang membingungkan dan canggih. Ia adalah sahabat yang tak memaksakan pikiran dan kemauannya pada diri kita, yang tak menjejali kita dengan dalil dan klaim-klaim kebenaran sepihak. Mursyid menunggu kita datang dan sukarela mendengarkan nasihatnya, dan dengan demikian kita berangsur-angsur memahami apa tanggungjawab spiritual kita di muka bumi.

Mursyid berdakwah dan membimbing dengan cinta, dengan cara yang menyentuh langsung seluruh sisi kemanusiaan kita, baik dimensi ruhani maupun lahir. Mereka tak menghakimi, sebab guru yang baik tahu betul bahwa nasib akhir manusia selalu berada di tangan Tuhan. Bukan hak manusia untuk menghakimi sisi keruhanian orang lain hanya berdasarkan teks dalil yang dijejaljejalkan tanpa melihat konteks dan makna batinnya yang universal.

Satu hal, mursyid dari tarekat manapun selalu mengajarkan bahwa "selalu ada alasan untuk bersyukur," sebab, seperti dawuh guru kami, "Allah selalu mencaricari alasan untuk memasukkan hambaNya ke dalam surga." Sayangnya, sebagian dari manusia tetap bebal dan enggan menerima tawaran itu.

------------------------------ Postcript: Simaklah sajak dari Hafidz ini :
Dan setelah sekian lama / matahari tak pernah berkata kepada bumi: / 'Kau berhutang padaku.' / Lihat / Apa yang terjadi pada cinta seperti itu / ia menerangi seluruh angkasa / -

____ | 9 Years After: ‪#‎Reloaded‬ | ____ fb: mbah nyut

Wednesday, 20 November 2013

Uang Rp 1 M Dalam Meja Bekas Yang Dibeli Dikembalikan

NEW HAVEN, Conn, Pria asal Amerika Serikat ini sepertinya menjadi orang paling beruntung. Pasalnya setelah ia membeli meja bekas dengan harga murah, pria tersebut malah menemukan uang tunai yang tersembunyi pada meja tersebut. Tak tanggung-tanggung uang tersebut mencapai US$ 98 ribu atau setara Rp 1 miliar.
Dilansir dari News, Noah Muroff tersebut tinggal di New Haven, Connecticut, AS bersama istrinya membeli sebuah meja kerja dari situs jual beli Craiglist dengan harga US$ 200 atau Rp 2,3 juta. Namun mereka harus membongkar meja tersebut karena tak bisa masuk ke dalam ruang kerja.

“Meja ini tidak cukup dimasukkan ke dalam kantor karena terlalu besar beberapa inci,” ungkap Muroff kepada media setempat WTNH News 8.

Pasangan ini mulanya melepas engsel pintu agar meja bisa masuk. Karena tak berhasil kemudian mereka melepas bagian atas meja dan menemukan sebuah tas plastik dibagian belakang laci meja. Ketika diperiksa, pasangan ini kaget karena menemukan uang tunai dalam jumlah banyak.

“Dan di dalam tas plastik itu ... terlihat seperti uang pecahan 100 dolar AS,” tuturnya.

“Kami membukanya dan isinya penuh dengan uang tunai. Kami menghitungnya dan ada uang tunai sebesar US$ 98 ribu di dalam tas plastik tersebut. Segera setelah itu, saya dan istri saling berpandangan dan berkata, 'Kita tidak bisa menyimpan uang ini',” terang Muroff.

Pasanga ini kemudian berpikir uang tersebut milik wanita yang menjual meja tersebut. Setelah dihubungi wanita mengaku uang tersebut warisan yang diterimanya, tapi ia lupa dimana ia menyimpannya.

Wanita tersebut bahkan mengira bahwa uang itu telah hilang. Wanita yang dikenal dengan panggilan Patty tersebut, tidak menyadari jika uang yang disimpannya jatuh ke belakang laci mejanya.
Dalam laci meja ini ditemukan Uang US $ 98K
Muroff pun mengajak anak-anaknya ketika dia mengembalikan uang tunai tersebut kepada Patty, dengan harapan anak-anaknya bisa belajar soal kejujuran. Patty yang mengaku terharu dengan kebaikan dan kejujuran Muroff, mengembalikan uang Murroff yang dibayarkan untuk membeli meja tersebut dan bersikeras memberinya imbalan uang tunai.

“Saya tidak bisa cukup berterima kasih atas kejujuran dan integritas Anda. Saya pikir tidak banyak orang di dunia ini yang akan melakukan apa yang Anda lakukan kepada saya. Saya akan selamanya berterima kasih,” tutur Patty.

TIGA SERANGKAI SAHABAT KARIB SYEKHUNAL MUKARROM HABIB UMAR BIN ISMAIL BIN YAHYA



الحبيب علي بن حسين العطاس                                الحبيب علي بن عبدالرحمن الحبشيي                          الحبيب سالم جندان           
Ketiga-tiganya adalah sahabat karib dari Syechunal Mukarrom (Abah Umar) dan masing-masing saling bersilaturahmi dimasa hidupnya.
Beliau adalah (Dari kanan ke kiri):

1. Al-Habib Salim Jindan,seorang ULAMA pejuang yang menguasai banyak KITAB Salafusshalaeh.
2. Al-Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi, beliau dikenal dengan sebutan Habib KWITANG.
3. Al-Habib Ali bin Husain Al-Athos, yang dikenal dengan sebutan Habib Bungur, beliau adalah GURU dari
    Ulama Betawi pada zamannya.
Riwayat Singkat Habib Salim Bin Jindan
Ulama habaib Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan. Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista).

Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.

Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.

Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.

Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.

Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, “Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”

Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah

Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.

Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, “Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.” Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”

“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.

Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.

Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.

Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.

Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. “Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

[Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim]

Sejarah Ringkas Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi Kwitang


Kakek buyut beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi. Beliau datang dari Hadramaut dan bermukim di Pontianak, Kalimantan Barat, hingga menikah disana.
Sedangkan kakek beliau adalah Al-Habib Abdullah bin Muhammad Alhabsyi. Beliau lahir di Pontianak.

Bersama para sultan dari keluarga Al-Qadri di Pontianak, beliau mendirikan Kesultanan Hasyimiyyah di Kalimantan Barat.
Beliau berdakwah dan berdagang di Pulau Jawa, hingga akhirnya menikah di kota Semarang, Jawa Tengah.Dalam pelayaran menuju Pontianak, beliau wafat di dasar laut, karena kapalnya karam.

Ayah beliau adalah Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi. Beliau lahir di kota Semarang, Jawa Tengah. Kemudian pindah ke Jakarta dan menikah dengan Hajjah Salmah, seorang gadis Betawi yang berasal dari Jatinegara.
Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi adalah sepupu pelukis terkenal, Raden Saleh Bustaman bin Yahya.

Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi wafat di Jakarta pada tahun 1296 H. bertepatan tahun 1881 M.
Beliau dimakamkan di Cikini, tepatnya dibelakang Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang pada saat itu milik Raden Saleh. Sedangkan Ibunda beliau, Hajjah Salmah wafat pada 2 rajab 1351 H. dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Abang.

Silsilah Habib Ali Kwitang :

AL HABIB ALI bin ABDURRAHMAN bin ABDULLAH bin MUHAMMAD bin HUSEIN bin ABDURRAHMAN bin HUSEIN bin ABDURRAHMAN bin HADI bin AHMAD ALHABSYI bin ALI bin AHMAD bin MUHAMMAD ASSADULLAH bin HASAN AT-TURABI bin ALI bin MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM bin ALI bin MUHAMMAD SHAHIB MIRBATH bin ALI KHALA QASAM bin ALWI bin MUHAMMAD bin ALWI bin UBAIDILLAH bin AHMAD AL-MUHAJIR bin ISA bin MUHAMMAD AN-NAQIB bin ALI AL-URAIDHI bin JA'FAR ASH-SHODIQ bin MUHAMMAD AL-BAQIR bin ALI ZAINAL ABIDIN bin HUSEIN bin ALI BIN ABI THALIB suami FATIMAH AZ-ZAHRA binti RASULULLAH SAW.

Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi Kwitang mempunyai anak :
Abdurrahman - Rogayah - Khadijah - Mahani - Zahra - Sa'diah – Muhammad

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi Kwitang lahir di Jakarta pada hari Ahad 20 Jummadil Awwal 1286 H. bertepatan dengan 20 April 1870 M. Dan beliau wafat pada hari Ahad 20 Rajab 1388 H. bertepatan dengan 13 Oktober 1968 M.

Habib Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi, ayah Habib Ali tidak lama mendampingi putera yang beliau cintai itu.Beliau wafat ketika Habib Ali berusia sepuluh tahun.
Sebelum wafat, beliau berpesan kepada istrinya agar anaknya tersebut dikirim ke Hadramaut untuk menuntut ilmu disana.
Untuk memenuhi pesan suaminya tersebut, Hajjh Salmah menjual satu-satunya perhiasan berupa gelang untuk biaya perjalanan anaknya tersebut ke Hadramaut.
Dua tahun setelah ayahnya wafat, Habib Ali berangkat ke Hadramaut, dengan bekal hanya ongkos ticket kapal laut.Di Hadramaut, beliau tidak menyia-nyiakan waktunya untuk menuntut ilmu.
Beliau sangat menyadari bahwa sang ibu tidak mampu untuk mengirimkan uang kepadanya. Dan beliau bekerja sebagai pangembala kambing untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Sesuai wasiat dari ayahnya,setibanya di Hadramaut tempat yang pertama kali dituju adalah "Rubat" Al-Habib Abdurrahman bin Alwie Al-Aydrus.

Selain belajar di dalam "Rubat" tersebut, Al-Habib Ali juga berguru kepada para ulama dan auliya yang berada di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, Al-Imam Al-Habib Hasan Al-Attas, Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Aydrus, Al-Habib Zein bin Alwie Ba'bud, Asy-Syekh Hasan bin Awadh Mukhaddam, Al-Imam Al-Habib Muhammad Al-Masyhur, Al-Habib Umar bin Idrus bin Alwie Al-Aydrus, Al-Habib Alwie bin Abdurrahman Al-Masyhur, dan masih banyak lagi ulama serta auliya yang menjadi guru beliau.

Pada tahun 1303 H bertepatan dengan tahun 1886 M, beliau pulang ke Tanah Air.
Sesampainya di Indonesia, beliau melanjutkan perburuan ilmu kepada para ulama dan auliya di Indonesia, diantaranya adalah : Al-Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya, K.H. Abdul Hamid, K.H. Mujtaba bin Ahmad, Al-Habib Muhammad bin Alwie Ash-Shulabiyah Al-Aydrus, Al-Habib Salim bin Abdurrahman Al-Jufri, Al-Habib Husein bin Muchsin Al-Attas, Al-Habib Abdullah bin Muchsin Alp-Attas, Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor, Al-Habib Ahmad bin Muchsin Al-Haddar, dan masih banyak lagi guru-guru beliau.

Penghormatan Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi terhadap para gurunya
Al Habib Ali sangat menghormati dan menjunjung tinggi para ulama, auliya, serta para guru-guru beliau.
Sebelum mendapat izin dari gurunya, Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, beliau belum berani mengenakan imamah. Setelah mendapatkan ijazah dan izin dari gurunya, barulah beliau mengenakannya setiap saat.
Al-Habib Ali selalu menyelipkan surat-surat dari gurunya disela-sela imamah yang dikenakannya.
Ketika beliau wafat, sesuai dengan wasiatnya, imamah dan surat-surat tersebut juga dimasukkan ke dalam makamnya. Juga abwa (kain selempang untuk duduk, yang biasa dikenakan oleh penduduk Hadramaut), sorban,, dan seuntai tasbih dari Al-Imam Al-habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, yang juga ikut dimasukkan ke dalam kuburnya.

Isyarah dari para Auliya
Ketika terjadi peperangan di Libya, Tripoli barat, Al-habib Utsman bin Yahya memerintahkan Al-habib Ali untuk naik mimbar dan berpidato di Masjid Jami’ di hadapan ribuan jama’ah yang hadir di masjid tersebut, dalam rangka mendo’a kan kaum muslimin yang saat itu sedang dibantai di Tripoli. Padahal sebelumnya Al-Habib Ali belum pernah tampil sama sekali diatas mimbar, mengingat usia beliau yang sangat muda. Sejak itu lidahnya sangat fasih dalam memberikan nasihat dan kemudian menjadi seorang da’I yang pengaruhnya menyebar ke seluruh pelosok Nusantara.

Pernah suatu saat beliau pergi ke Pekalongan, Jawa Tengah guna berkunjung ke rumah Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas.
Saat itu hari Jum’at. Dan setelah selesai shalat Jum’at, Al-Habib Ahmad menggandeng tangan Al-Habib Ali dan menaikkannya ke atas mimbar, padahal usia Al-habib Ali saat itu masih sangat muda.
Al-Habib Ali berkata kepada Al-habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas : “Wahai habib, aku tidak dapat berbicara bila antum berada diantara mereka”.
Lalu Al-Habib Ahmad mengatakan : “Wahai anakku Ali, berbicaralah engkau menurut lidah orang lain”.

BIRRUL WALIDAIN

Khidmat dan rasa bakti terhadap ibunya sangatlah luar biasa. Tidak pernah sekalipun beliau membantah perintah ibunya.
Pernah pada suatu saat ketika beliau sedang melakukan perjalanan dakwak ke Singapura. Kemudian sang ibu mengirim telegram, yang isinya memerintahkannya untuk segera pulang ke Jakarta. Tanpa menunda-nunda, Al-Habib Ali segera pulang ke Jakarta untuk memenuhi panggilan ibunya tersebut.
Maka tidaklah mengherankan jika ilmu yang beliau miliki sangatlah berkah dan bermanfaat. Dakwah beliau dimana-mana mendapat sambutan yang luar biasa.

KE TANAH SUCI

Ketika Habib Ali berusia 20 tahun, beliau mengadakan pengajian sambil berdagang kecil-kecilan di Pasar Tanah Abang. Pada usia iyu pula Habib Ali menikah dengan Hababah Aisyah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Beberapa waktu kemudian beliau berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji serta ziarah ke makam datuknya Rasulullah SAW di Madinah.

Selama di tanah suci beliau pergunakan waktunya untuk menuntut ilmu dan meminta ijazah pada para ulama dan auliya yang berada di Makkah, diantaranya : Asy-Syeikh Muhammad Said babshil, As-Sayid Umar bin Muhammad Syatha’, Asy-Syeikh Umar bin Abubakar Bajunaid, Asy-Syeikh Abdullah bin Muhammad Shaleh Zawawi, Asy-Syeikh Umar hamdan Al-Maghribi. Ketika di Madinah beliau belajar kepada Al-Habib Ali bin Ali Alhabsyi, Al-Habib Abdullah Jamalulail, dan Asy-Syeikh Sulaiman bin Muhammad Al-Azab (putera dari penggubah Maulid ‘Azab), dan masih banyak lagi guru-guru beliau yang berada di Hijaz saat itu. Disana beliau mendapatkan ijazah untuk mensyiarkan maulid Al-Azab langsung dari putera shahibul maulid, Asy-Syeikh Umar bin Muhammad Al-‘Azabi.

Selama hayatnya Al-habib Ali menunaikan haji sebanyak tiga kali.
Pertama kalinya pada tahun 1311 H / 1894 M, saat Makkah berada dibawah kuasa Syarif Aun.
Kedua pada tahun 1343 H / 1925 M, dimasa Syarif Husain.
Dan yang ketiga pada tahun 1354 H / 1936 M, dimasa kekuasaan Ibnu Sa’ud.

MAJLIS TA’LIM KWITANG

Setibanya di tanah air beliau mulai berdakwah dan mengajar. Masyarakat Jakarta sangat antusias mengikuti dakwah beliau. Semakin hari yang mengikuti Majlis Ta’lim beliau, semakin banyak.
Karena dorongan dari para murid dan semakin banyaknya masyarakat yang belajar kepada beliau, maka beliaupun mendirikan sebuah majlis ta’lim di Kwitang, Jakarta Pusat. Belakangan ini majlis tersebut berkembang menjadi Islamic Center Indonesia.

Majlis Al-habib Ali Alhabsyi di Kwitang merupakan majlis ta’lim pertama di Jakarta. Sebelumnya tidak ada seorangpun yang berani membuka majlis ta’lim, karena kegiatan dakwah saat itu sangat dibatasi dan diawasi secara ketat oleh kolonial Belanda. Barulah setelah wafatnya Al-habib Ali Alhabsyi, mulai bermunculan beberapa majlis ta’lim di jakarta pada khususnya, dan si seluruh penjuru tanah air pada umumnya.
Al-habib Ali Alhabsyi sebagai perintis majlis ta’lim di tanah Betawi, yang beliau adakan di Kwitang, jakarta Pusat, yang juga merupakan cikal bakal berdirinya majlis ta’lim di seluruh tanah air.
Dari majlis tersebut tidak pernah terdengar caci maki terhadap seseorang atau golongan. Didalamnya tidak diajarkan melaknat atau mengkafirkan seseorang atau golongan lain. Majlis tersebut penuh dengan ilmu, nasihat, akhlak, dan perilaku yang baik serta dipenuhi dengan rahmat. Dakwah semacam inilah yang telah diwariskan oleh Rasulullah lima belas abad silam, yang datang sebagai rahmat dan pembawa perdamaian bagi alam dfan seluruh ummat manusia.

Para ulama Betawi yang ada saat ini pasti pernah belajar di Majlis Ta’lim Kwitang, atau belajar kepada orang yang pernah belajar di Majlis Ta’lim Kwitang.
Majlis ini berdiri lebih dari satu abad, ini dikarenakan beliau mengajar dengan ikhlas.
Ajaran Islam yang disuguhkan di majlis tersebut adalah “Ahlussunnah Wal Jama’ah”, nilai-nilai akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kebersihan hati dan jiwa melalui ajaran tasawwuf.
Beliau tidak mengajarkan kebencian, iri, hasud, dengli, ataupun fitnah. Sebaliknya Al-habib Ali selalu mengembangkan tradisi “salafunasshalih” dan Ahlil Bait yang menjunjung tinggi “ukhuwah islamiyah”, nilai-nilai kemanusiaan dan menghormati setiap manusia tanpa membedakan statusnya.
Majalah “Panji Poestaka” nomor tujuh puluh tiga, tanggal 11 September 1928, tahun ke enam, memberitakan sebuah tulisan dalam rubrik serba-serbi dengan tajuk Toean Sajid Ali bin Abdoerrahman Al-habsyi, Kwitang, Weltevreden.
Dalam tulisan itu diantaranya dikatakan :
“Kalau di Betawi ada orang bertanya, Apakah Toean di hari Minggu depan maoe hadir ? Maka itoe artinya : hadir di mesjid Kwitang sebeloem sembahyang lohor, boeat mendengarkan taswir Toean Sayid Ali.
Pendoedoek Betawi jang bagian ahli agama, sangat memerloekan datan ke mesjid itoe, bahkan orang djaoeh-djaoeh, seperti dari daerah Bogor, Bekasi, dan lain-lain tidak sedikit jang datang, hingga beratoesan djoemlahnya.

Bagaimana chidmat pendoedoek Betawi dan sekitarnya kepada beliau. Dapat kami gambarkan dengan singkat demikian, kata orang-orang Betawi, sedjak jang moelia Toean Sayid Oesman wafat, maka Toean Sayid Ali lah bapa boeat moeslimin Betawi. Belialah pakoenya tanah Betawi”.
Tulisan tersebut selain menggambarkan betapa agamisnya masyarakat Betawi sejak dulu dan juga menunjukkan betapa besar dan pentingnya bagi masyarakat Betawi peranan habaib pada umunya, dan Al-habib Utsman bin yahya serta Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-habsyi pada khususnya.

KEBERHASILAN AL-HABIB ALI DALAM BERDAKWAH

Al-habib Ali bin Abdurrahman Al-habsyi merupakan satu diantara banyak tokoh ulama di Indonesia yang pengaruhnya sangat luas. Beliau dikenal memiliki kelebihan dalam dakwahnya yang menyentuh hati.
Beliau juga dipandang sebagai tokoh yang dapat mempersatukan dan membangun persaudaraan para Habaib dan Kyai di Jakarta. Bahkan beliau dapat membuat orang-orang yang tadinya benci, memusuhi, dan tidak suka padanya, berbalik menjadi suka dan sangat mencintainya. Ini semua karena akhlak dan budi pekerti beliau.

Keberhasilan ini disebabkan kebijaksanaan, kesabaran, dan ketekunan Al-Habib Ali dalam menyajikan Islam. Beliau menyajikan Islam sebagai agama yang mudah, sehingga dapat diterima sepenuh hati oleh penduduk setempat. Yang kemudian dengan sukarela mereka meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya.
Dengan keluhuran akhlak dan kehidupan yang bersahaja serta ketaatan beragama seperti ytang beliau warisi dari para leluhurnya, sehingga beliau berhasil memikat hati penduduk pribumi. Dan dalam waktu yang singkat, Islam telah berhasil menyebar keseluruh pelosok Indonesia.

Pengaruh Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi dikalangan muslimin pribumi dapat dilihat dari apa yang telah dikatakan Al-habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-haddad Bogor, kepada Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas Bungur, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Tujul A’rasy” jilid dua, halaman 180 : “Dakwak Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi telah memenuhi telinga-telinga kaum muslimin, sebagaimana kitab-kitab Al-Habib Utsman bin yahya telah memenuhi rumah-rumah mereka”

Menurut Mr. Hamid Al-Qadri, seorang tokoh politik dan pejuang kemerdekaan. Selain ulama, Al-habib Ali Kwitang juga merupakan pejuang kemerdekaan. Beliau ikut mendorong berdirinya partai politik yang berazaskan Islam pertama kali di Indonesia yang dikenal dengan Parta Syarikat Islam, pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Saking semangatnya dalam perjuangan dalam membangkitkan perlawanan rakyat terhadap penjajah, di zaman pendudukan Jepang, Al-Habib Ali pernah dijebloskan ke penjara bersama Haji Agus Salim. Dengan hukuman penjara, bukan menghentikan perlawanannya terhadap penjajah, malah beliau terus menentang dan melawan. Dan namanya kian mengharum.
Harumnya nama Al-Habib Ali menjadi buah bibir di masyarakat dikala itu. Kemasyhuran Al-habib Ali tersebut sehingga dibuatkan gubahan dan untaian syair oleh beberapa pujangga, diantaranya adalah : Al-habib Mihammad bin Ahmad Al-Muchdhor, Al-habib Ahmad bin Abdullah Assegaf, Asy-Syekh fadhil Irfan, Al-habib Soleh bin Mukhsin Al-Hamid (Tanggul), Al-Habib Segaf bin Abubakar Assegaf. Juga Asy-Syekh Yusuf bin Ismail Nabhan pun memasukkan nama Al-Habib Ali Kwitang dalam kitabnya yang berjudul “Jami’ Karamah Auliya”

Habib Ali bin Husein Al - Aththas ( Bungur ) 

Nasab Habib Ali bin Husein Al-Aththas
Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Umar bin Abdurrahman bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Habib Ali bin Husein al-Aththas, yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur, adalah salah seorang rujukan terpenting bagi para habib dan ulama di Jakarta. Murid-muridnya banyak yang menjadi tokoh terkemuka, diantaranya habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi ( putra habib Ali Kwitang ), habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih ( Malang ), KH. Abdullah Syafi'i, KH>Syafi'i Hadzami, KH.Thohir Rohili, KH.Abdurrazzaq Ma'mun, Prof.KH.Abu Bakar Aceh ( penulis terkenal dan produktif di masanya )
Habib Ali bin Husein Al-Aththas lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H ( 1889 M ). Sejak usia enam tahun beliau belajar ilmu-ilmu keislaman pada sebuah Ma'had di Hadramaut. .
Pada tahun 1912 beliau menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di Makkah untuk menuntut ilmu selama lima tahun. Setelah itu beliau kembali ke Huraidhah dan mengajar disana. Tiga tahun kemudian, beliau tiba di Jakarta dan menetap hingga akhir hayatnya.

Setelah tinggal di ibu kota, beliau banyak berhubungan dengan para tokoh terkemuka di Indonesia; dan mengambil ilmu, sanad daqn ijazah dari mereka. Di antaranya, Ha bib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas ( Bogor ), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar ( Bondowoso ), Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Al-Aththas ( Pekalongan ), Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.

Semasa hidupnya, Habib Ali dikenal sangat alim, tenang, memiliki kharisma dan berwibawa, menempati kedudukan yang sangat tinggi di kalangan Ulama dan masyarakat awam. Tokoh Ulama dan habib terkemuka ini selama lebih dari 50 tahun mensyiarkan ilmu-ilmu agama islam dengan membuka majelis ta'lim di rumahnya.

Para penunutut ilmu dan pecintanya datang dari berbagai tempat. Ada yang mengikuti pengajian – pengajian umum ( di lingkungan pesantren dikenal dengan istilah bandongan ), ada pula yang khusus ( sorogan ). Dia juga mengajar di tempat-tempat lain, misalnya di perguruan Asy-Syafi'iyyah, yang didirikan oleh salah seorang muridnya, KH.Abdullah Syafi'i.

Lewat tangan Habib Ali Al-Aththas, lahir sebuah karya besar dan penting, kitab Taj al-A'ras fi Manaqib al-Habib al-Quthb Shalih bin Abdullah al-Aththas; terdiri dari dua jilid tebal, jilid pertama 812 halaman ( termasuk dafatar isi ) sedangkan jilid ke dua 867 halaman. Dalam kitab yang diterbitkan tahun 1977 ini, Habib Ali menguraikan perjalanan hidup banyak tokoh Ulama dan orang-orang terkemuka yang pernah beliau jumpai, khususnya di Hadramaut, baik dari kalangan Habaib maupun yang lain.
Dalam kitabyang terbilang langka ini, juga terdapat ulasan – ulasan mengenai persoalan-persoalan penting. Baik yang berkaitan dengan habaib maupu yang bersifat umum.

Seperti dalil-dalil tentang karomah para wali, bahasan tentang 'ilmu yaqin, haqqul yaqin dan 'ainul yaqin. Juga mengenai thariqoh Alawiyah, pandangan ulama Alawiyyinmengenai karya-karya Ibnu Arabi, air zam zam, firasat orang mu'min sebagaimana yang tertera dalam hadits, ruqyah.

Dibahas pula mengenai penjajahan Inggris terhadap Hadramaut, keadaan Hadramaut sebelum dijajah, serangan kaum Wahabi di Huraidhah dan Wadi 'Amd, masuknya islam di Jawa, Sultan Hasanuddin Banten, perang dunia II, mengenai Imam Yahya dari Yaman, tentang Betawi, pemakaman tanah abang, kisah Laila dqan Majnun.

Juga persoalan – persoalan fiqih dalam Madzhab Syafi'I, celak mata dan lain-lain.
Salah seorang murid utama Habib Ali Bunguir adalah KH.Syafi'I Hadzami, ulama terkemuka Betawi yang sangat alim ini ( wafat 7 Mei 2006 ) mengaji kepada Habib Ali sejak sekitar tahun 1958 sampai sang guru wafat pada tahun 1976. banyak sekali yang dipelajari dari Habib Ali Bungur.

Kepindahan KH.Syafi'I Hadzami dari kebon sirih ke kepu, Kemayoran, adalah agar ia dapat lebih dekat dengan Habib Ali, yang tinggal di daerah Bungur, Senen. Seperti beberapa murid Habib Ali yang lain,KH Syafi'i Hadzami juga datang dengan membaca kitab di hadapannya. Dan itu dilakukan sebelum ia berangkat kerja ke kantornya di RRI, jln Merdeka Barat.

Ada pengalaman – pengalaman menarik yang dituturkan oleh KH.Syafi'i, sebagaimana tersebut dalam biografinya, Sumur yang tak pernah kering, berkaitan dengan gurunya ini. Di antaranya, dan yang paling berkesan, adalah kisah berikut :
Suatu hari Habib Ali sakit, KH.Syafi'i datang menjenguk. Sebagai penghormatan kepada guru dan untuk menjaga adab, ia melepas sandalnya di luar. Melihat KH.Syafi'i melepas sandalnya, Habib Ali menyuruhnya untuk memakainya lagi. Tentu saja KH.Syafi'i menolak.

Habib Ali pun kembali menyuruhnya. KH.Syafi'i tetap tidak mau, karena ia begitu menghormati gurunya.
Tidak lama kemudian Habib Ali keluar dari kamarnya. Dia mengambil sandal KH.Syafi'i dan menyuruhnya untuk memakainya. KH.Syafi'i terkejut dengan perlakuan gurunya tersebut. Selain menunjukkkan kecintaan yang luar biasa kepada muridnya, itu juga menunjukkkan akhlaq Habib Ali yang memang sangat dikagumi orang.

Kecintaan kepada KH.Syafi'i Hadzami adalah suatu hal yang wajar, karena pada saat mengaji ia terlihat begitu menonjol. Sehingga, pada suatu ketika Habib Ali melantunkan sebuah syai'r yang ditujukan kepadanya :
Siapa yang dapat menunjukkan kepadaku
Seperti perjalananmu yang dimudahkan
Engkau berjalan perlahan-lahan
Tetapi engkau sampai terlebih dahulu

Syair tersebut dituturkan Habib Ali di hadapan beberapa teman mengaji KH.Syafi'i, setelah dia mengetahui kumpulan fatwa KH>Syafi'i di Radio Cendrawasih telah diterbitkan.
Betapa besar perhatian Habib Ali kepada muridnya ini, sampai-sampai dia sendiri sering mendengarkan acara di radio ketika KH.Syafi'i sedang menyampaikan fatwa-fatwanya sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para pendengar. Habib Ali senang dengan jawaban KH.Syafi'i dan menyatakan pujiannya.

Ada lagi pengalaman mengesankan bagi KH.Syafi'i. seminggu menjelang wafat, Habib Ali memberikan ijazah kepadanya. KH.Syafi'i merasa senang, tapi sekaligus heran.
Suatu hal yang wajar bila KH Syafi'i merasa senang, karena pemberian ijazah itu menandakan kecintaan sang guru kepadanya, juga menunjukkan pengakuan atas ilmu yang dimilikinya. Namun ia juga merasa heran, karena selama puluhan tahun mengaji, gurunya ini belum pernah berbicara tentang ijazah. Karena itu ada perasaan tidak enak pada diri kiyai. Barangkali beliau akan segera pergi meninggalkannya. Begitulah pikiran yang ada dalam benaknya.

Ternyata kekhawatirannya itu menjadi kenyataan. Seminggu sesudah itu Habib Ali wafat, tepatnya pada tanggal 16 Februari 1976, dimakamkan di dekat masjid Al-Hawi Condet.
Mengenai berita wafatnya, harian Pelita tanggal 17 Februari 1976 menyebutkan penduduk Jakarta sangat berduka atas berita wafatnya seorang alim, Habib Ali bin Husein Al-Aththas, di rumahnya jl.Bungur, Senen, Jakarta pusat dalam usia 88 tahun.

Besok harinya surat kabar ini kembali memuat berita tentang Habib Ali dan menggambarkan suasana pemakamannya. Disebutkan, ribuan kaum muslimin mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Dalam acara pemakaman, sejumlah tokoh ulama menyampaikan sambutan. Yang mentalqinkannya adalah Habib Ali bin Ahmad bin Abdullah bin Tholib Al-Aththas dari Pekalongan. Dan yang memberi sambutan sebagai perwakilan pemerintah yakni Dr.KH.Idham Khalid, ketua DPR/MPR ketika itu, yang juga salah seoreang muridnya.

Untuk mengenang peran dan jasanya, harian Pelita pada tanggal 24 Februari 1976 memuat artikel tentang Habib Ali yang ditulis oleh Prof.KH.Saifuddin Zuhri, mantan menteri agama.
Setiap tahun pada hari selasa terakhir bulan Rabi'ul awal selalu diadakan haul Habib Ali Bungur di daerah Condet, Jakarta Timur.

NABI KHIDIR DAN NABI ILYAS HIDUP SAMPAI HARI KIAMAT

Di dalam kitab “Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah” karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5 diterangkan yang artinya sebagai berikut: Telah berkata guru dari guru-guru kami, Sayyid Mushtofa Al-Bakri: Telah berkata Al-’Ala’i di dalam kitab tafsirnya bahwa sesungguhnya Nabi Khidir as dan Nabi Ilyas as hidup kekal sampai hari kiamat.
Nabi Khidir as berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di lautan. Sedangkan, Nabi Ilyas berkeliling di sekitar gunung-gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di gunung-gunung. Inilah kebiasaan mereka di waktu siang hari.
Sedangkan di waktu malam hari mereka berkumpul di bukit Ya’juj wa Ma’luj (يأجوج و مأجوج) sambil mereka menjaganya. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas berjumpa pada tiap-tiap tahun di Mina (Saudi Arabia). Mereka saling mencukur rambutnya secara bergantian. Kemudian mereka berpisah dengan mengucapkan kalimat:
بسم الله ما شاء الله لا يسوق الخير الا الله بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله بسم الله ما شاء الله ما كان من نعمة فمن الله بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله
Maka barangsiapa mengucapkan kalimat-kalimat ini pada waktu pagi dan sore hari, maka ia akan aman dari tenggelam, kebakaran, pencurian, syaitan, sultan, ular, dan kalajengking.
Dan telah dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas itu berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis (Palestina) dan mereka melakukan ibadah haji pada tiap-tiap tahun. Mereka minum air zamzam dengan sekali tegukan, yang mencukupkan mereka seperti minuman dari Kabil.
Sebagian ulama menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Khidir itu putera Nabi Adam as yang diciptakan dari tulang iganya. Menurut segelintir kecil ulama lagi beliau putera Halqiya. Ada yang mengatakan putera Kabil bin Adam. Adapula yang mengatakan beliau itu cucunya Nabi Harun as, yaitu putera bibinya Iskandar Dzul Qarnain. Dan Perdana Menterinya benar-benar aneh mengatakan bahwa Nabi Khidir itu dari golongan malaikat. Sedangkan, menurut pendapat ulama yang paling shohih adalah bahwa Khidir itu adalah seorang Nabi. Menurut ulama jumhur beliau itu masih hidup dan beliau tidak akan pernah meninggal terkecuali pada hari kiamat apabila Al-Qur’an telah diangkat dan Dajjal telah membunuhnya. Kemudian, Allah menghidupkannya kembali. Sesungguhnya, beliau itu masa hidupnya panjang sekali. Karena, beliau meminum air kehidupan. Al-Qirani”.

Nggak ada siapa yang bisa mengenali siapakah itu Nabi Khidir AS, melaenkan kepada mereka yg Allah Azzawajalla izinkan. Nabi Musa AS yang berdarjat seorang Nabi lagi Rasul, lagi bergelar Kalamullah ada kitab Taurat, lagi ada Mukjizat Tongkat Sakti pembelah lautan, itu pun nggak kenal siapa itu Nabi Khidir AS. Nabi Musa AS nggak bisa sabar berguru menuruti perjalanan Nabi Khidir AS yg penuh hikmah lagi banyak mencarik adat itu. Nabi Musa AS koq banyak bertanya menggunakan akal syariatnya sebab itu terputus pengenalannya dan perguruannya dgn itu Nabi Khidir AS sebelum cukup edahnya.
Kata Sang Raja Wali pula : Begitu juga kisahnya seorang yg mengaku Nasab Ahlul Bait, pada sangkaannya dia sudah cukup syarat2nya sebagai Imam Mahdi, maka dia mengakui dirinya itulah Imam Mahdi Al-Muntazar. Lalu beliau diuji oleh Nabi Khidir AS, namun Imam Mahdi Al-Muntazar itu pun nggak kenal siapa itu Nabi Khidir AS. Wallahu’alam….

Maka keberadaannya itu Nabi Khidir AS ada kalanya pada Hadrat2 tertentu ianya bersifat Kedirian (Subjektif), gambarannya seperti kisahnya dgn Nabi Musa AS itu. Begitu juga mereka yg mengalami pelbagai2 wajah pengalaman peribadi secara berguru dgn itu Nabi Khidir AS dalam menyelami Alam Keruhanian lagi penuh mistik itu. Kerana ada kalanya ianya dikatakan ada dimana2 tempat dlm satu masa. Untuk mentafsirkan siapakah itu Nabi Khidir AS tersangat rumit. Agaknya seperti itu Ruh yg nggak tertakluk pada masa tempat dan ruang, koq…??? Wallahu’alam…
Ada kalanya juga keberadaannya itu Nabi Khidir AS pada sesuatu Hadrat ianya bersifat Khusus dalam Kesemestaan. Seperti Alam Kewalian sebagai Wali Wakil Allah mentadbir Alam Semesta Raya ini. Maka kehadiran dan wataknya bersesuaian dgn tugas2 Semesta Imam Mahdi Sejati yg paling berat sebagai Wali Qutubul Alam di Akhir Zaman ini. Dimana beban2 dunia semesta sejak dari zaman silam hingga keAkhir Zaman ini tertanggung diatas bahunya. Kata Sang Raja Wali lagi : Ada pun makna Mahdi itu yg diberi petunjuk, dibimbing dan sentiasa terpelihara. Maka Imam Mahdi “Is The Guided Man”. Maka pada Hadrat2 tertentu itu “Imam Mahdi Is Guided By Khidir….”

Persoalannya : Apakah Nabi Khidir AS itu maseh hidup ato telah wafat? Jawapannya terpulanglah pada keimanan, kefahaman dan aliran masing2. Kalo dihamparan lautan BahrulWujud itu Nabi Musa As mencari itu “Hamba Allah Yg Beriman” itu dipertemuan dua lautan. Maka diAlam Kedirian bagi kita pula dimana pula, ya…??? Koq dibuat cobaan manalah tahu koq2 bisa ketemu itu Khidir dipertemuan “Kiri” dan “Kanan”…
Nabi Khidir a.s. adalah nabi yang amat misterius. Pelajarannya pun sangat misterius. Demikian pula cara berdakwahnya yang berbeda dengan cara berdakwah nabi-nabi yang lain. Hal-hal misterius juga terjadi pada orang-orang yang berupaya bertemu dengannya. Oleh karena itu, tidak aneh bila orang yang menerima pelajarannya pun terkadang menjadi bingung.
Pelajaran Nabi Khidir a.s. berupa ilmu hakikat. Bentuk pelajarannya adalah ijmak dan kias. Makna pelajarannya sangat dalam. Hal yang menjadikan pelajarannya misterius adalah cara penyampaiannya yang terkesan aneh dan seakan-akan tidak pada tempatnya. Oleh sebab itulah, terkadang pelajarannya justru tidak disadari oleh orang yang belajar kepadanya. Memang pelajaran Nabi Khidir a.s. ditujukan bagi khaas dan khawas. Hanya kepada orang-orang yang mampu menerimanya Nabi Khidir a.s. memberikan pelajarannya. Seandainya kita dapat mengikuti pelajarannya, kita hanya dapat mengikuti sebagian kecil saja diantaranya. Itu pun setelah kita mulai mempelajarinya dengan kepasrahan total.
Nabi Khidir a.s. menyampaikan pelajarannya melalui perbuatan isyarat dan kias. Dalam mempelajarinya diperlukan pemikiran yang lebih dalam dan penelaahan yang serius melalui pencermatan dan perenungan terhadap pelajaran itu. Orang-orang yang belum mencapai kelas Nabi Khidir a.s. pasti menolak pelajaran yang diberikan olehnya. Dan itulah yang sempat dilakukan oleh Nabi Musa a.s. Beliau menolak pelajaran Nabi Khidir beberapa kali karena bertentangan dengan isi hati nuraninya.
Saking tidak enaknya Nabi Musa karena terus-menerus kecele dan salah tafsir, akhirnya ia berkata “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.” {QS. 18:76}. Namun rupanya lagi-lagi Nabi Musa melakukan kesalahan serupa, sehingga Nabi Khidir pun berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” {QS. 18:78}. Maka diberitahulah Nabi Musa oleh Nabi Khidir mengapa tadi sampai ia berbuat demikian {QS. 18:79-82}.
Ketika hendak berpisah, Nabi Musa a.s. meminta agar Nabi Khidir a.s. memberikannya wasiat. Nabi Khidir memenuhi permintaan Nabi Musa ini [Permintaan wasiat ini beberapa diantaranya dikisahkan dalam kitab Al-Bidayah Wan Nihayah juz 1 (hlm. 329) dan Ihya’ Ulumuddin juz IV (hlm. 56)].
Berikut beberapa isi wasiatnya:
1. Jadikanlah pakaianmu itu bersumber dari zikir yang berbuah fakir. Perbanyaklah amal kebajikan. Terimalah ilmu yang tidak disampaikan dengan pembicaraan. Suatu hari nanti kamu tidak bisa mengelak dari kesalahan karena akalmu melanggar larangan-Nya. Oleh karena itu, pintalah ridha Allah swt.
2. Janganlah selalu menyalahkan orang lain, jangan suka berdebat tentang hal-hal yang tidak perlu, sampaikan ilmumu kepada orang lain yang berhak menerima dengan ikhlas, dan pelajari ilmu-ilmu yang belum kamu pahami.
3. Kurangilah usaha duniawi. Terbukalah kepada siapa saja secara lahir dan batin. Bersikaplah arif kepada semua makhluk terutama manusia, karena sifat arif menjadi rahmat bagi alam semesta. Apabila datang orang bodoh mencacimu, hadapilah ia dengan penuh kedewasaan serta keteguhan hati.
4. Tahanlah hawa nafsumu dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Bersikaplah sabar dalam menerima semua ketentuan dari-Nya. Berantaslah kejahilan serta perbanyaklah bersyukur kepada Allah swt.
5. Hiasi wajahmu dengan keceriaan, hiasi kalbumu dengan keikhlasan, dan hiasi jiwamu dengan ketabahan serta kepasrahan.
Berikut Kisahnya
Pada zaman dahulu hiduplah seorang hamba Allah SWT yang melebihkan kepada dirinya dengan menjadi seorang raja. Dialah Raja Iskandar Zulkarnaen, yang namanya telah tersebut dalam Al Qur'an.

Pada tahun 322 SM, Raja Iskandar Zulkarnaen berniat mengadakan perjalanan untuk mengelilingi bumi dan Allah SWT mewakilkan salah satu malaikatnya yang bernama Rofa'il untuk menyertainya dalam perjalanan panjang itu.

Dialog Malaikat dan Raja Iskandar Zulkarnaen.
Karena ditemani oleh seorang malaikat, Raja Zulkarnaen banyak mengajukan pertanyaan seputar dunia dan akhirat serta isinya. Salah satu pertanyaan yang paling terkenal adalah tentang ibadah para malaikat di langit.
"Wahai Malaikat Rofa'il, ceritakanlah kepadaku tentang ibadahnya para malaikat yang ada di langit," tanya Raja Zulkarnaen.
"Para malaikat yang ada di langit ibadahnya ada yang berdiri tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada juga yang bersujud tidak mengangkat kepala selama-lamanya, ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya," jawab Malaikat Rofa'il.

"Duh, alangkah senangnya hati ini seandainya aku bisa hidup bertahun-tahun lamanya untuk beribadah kepada Allah SWT," kata Raja Zulkarnaen.
"Wahai raja, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan sumber air di bumi. Namanya Ainul Hayat, artinya sumber air hidup. Maka barang siapa yang meminum airnya seteguk, maka ia tidak akan mati sampai hari kiamat atau jika ia memohon kepada Allah SWT untuk dimatikan," kata Malaikat Rofa'il.

"Apakah engkau tahu tempat Ainul Hayat itu wahai Malaikat Rofa'il?" tanya raja.
"Sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di bumi yang gelap," jawab Malaikat Rofail.

Setelah Raja Zulkarnaen mendengar penuturan malaikat Rofa'il tentang Ainul Hayat itu, maka raja segera mengumpulkan para alim ulama pada saat itu. Sebelumnya, raja bertanya kepada mereka tentang letak Ainul Hayat, tapi mereka semua menjawab tidak tahu.
"Wahai para alim ulama, tahukah kalian dimanakah letak Ainul Hayat itu?" tanya raja.
"Kami tidak mengetahuinya wahai baginda, hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui," jawab salah seorang ulama.

Di luar dugaan, dari pertanyaan Raja Zulkarnaen tersebut, ada salah seorang ulama yang mampu menjawab meski tidak sedetail letaknya.
"Sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat Nabi Adam as bahwa beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah SWT meletakkan Ainul Hayat itu di bumi yang gelap," kata ulama itu.
"Dimanakah bumi yang gelap itu?" tanya raja.
"Yaitu di tempat terbitnya matahari," jawab orang alim ulama itu.

Kemudian Raja Zulkarnaen menyuruh para pengawalnya untuk menyiapkan segala keperluan untuk mencari dan mendatangi tempat Ainul Hayat itu.
"Kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap?" tanya raja.
"Kuda betina yang masih perawan," jawab para sahabatnya.

Akhirnya raja mengumpulkan seribu kuda betina yang masih perawan dan ia memilih diantara 6 ribu tentaranya yang pandai serta ahli dalam mencambuk. Di antara para tentara itu, ada yang bernama Nabi Khidir as, bahkan beliau menjabat sebagai perdana menteri kala itu.

Perjalanan Mencari Ainul Hayat.
Setelah dirasa semua cukup dan siap, maka berangkatlah Raja Zulkarnaen dan Nabi Khidir as yang ebrjalan di depan pasukan. Setelah sekian lama mencari, akhirnya mereka mengetahui tempat terbitnya matahari.

Mereka pun menuju arah terbitnya matahari tersebut.
Perjalanan ke temnpat tujuan tersebut memakan waktu 12 tahun lamanya untuk sampai di bumi yang gelap itu. Gelapnya bukanlah seperti di waktu malam hari, melainkan gelap karena ada pancaran seperti asap.

Raja Zulkarnaen sudah tak sabar lagi hendak masuk ke tempat gelap itu, namun salah seorang cendikiawan mencegahnya. Para tentara berkata kepada raja,
"Wahai Baginda, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk ke tempat gelap ini, karena tempat yang gelap ini berbahaya."
"Wahai prajurit, kita harus memasukinya, tidak boleh tidak," sanggah sang raja.

Karena raja bersikeras hendak masuk, maka tak ada seorang pun yang berani melarangnya.
"Diamlah dan tunggulah kalian di sini selama 12 tahun. Jika aku bisa datang kepada kalian dalam masa itu, maka kedatanganku terhadap kalian termasuk baik. Dan jika aku tidak datang dalam 12 tahun, maka pulanglah kalian kemabli ke negeri kalian," ujar sang raja.

Setelah itu raja mendekat dan bertanya kepada malaikat Rofa'il,
"Apabila kita melewati tempat gelap ini, apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita?"
"Tidak bisa kelihatan<" jawab Malaikat Rofa'il.
"Akan tetapi aku memberimu sebuah merjan atau mutiara. Jika mutiara itu ke atas bumi, maka mutiara itu dapat emnjerit dengan suara yang keras, dengan demikian kawan-kawan kalian yang tersesat jalan dapat kembali kepada kalian," jelas Malaikat Rofa'il lebih lanjut.

Masuk ke Ainul Hayat.
Demikianlah, akhirnya Raja Iskandar Zulkarnaen masuk ke tempat yang gelap itu. Selama 18 hari lamanya tidak pernah melihat matahari dan bulan, tidak pernah melihat malam maupun siang. Tidak pernah melihat burung dan binatang liar, sedangkan raja berjalan dengan didampingi Nabi Khidir as.

Pada saat mereka berjalan, maka ALlah SWT memberi wahyu kepada Nabi Khidir as.
"Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat ini Aku khususkan untuk kamu."

Setelah Nabi Khidir as menerima wahyu itu, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya,
"Berhentilah kalian di tempat masing-masing dan jangan kalian emninggalkan tempat kalian sebelum aku datang kepada kalian."

Kemudian Nabi Khidir as menuju kanan jurang hingga beliau menemukan Ainul Hayat itu. Beliau turun dari kudanya, melepaskan pakaiannya dan turun ke Ainul Ahaya tersebut. Beliau mandi dan minum air sumber hidup tersebut dan beliau merasakan bahwa airnya lebih manis daripafda madu.

Sesudah mandi dan minum air tersebut, beliau keluar dari tempat itu kemudian menemui Raja Iskandar Zulkarnaen. Raja tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas diri Nabi Khidir as.

Wallahu A'lam

4 Nabi yang masih hidup dan tetap diberi rizqi dari khazanah Allah swt.

Mereka adalah golongan yang dikhususkan oleh Allah swt. 2 Nabi Ada dibumi yaitu Nabi Khidir A.s. & Nabi Ilyas A.s. Ditempatkan di bagian bumi yang khusus yang Allah Yang Maha Tahu yang mengetahui tempat itu 2 Nabi ada di langit yaitu Nabi Isa A.s. & nabi Idris A.s. Ditempatkan di bagian langit yang khusus yang Allah Yang Maha Tahu yang mengetahui tempat itu. Untuk menjelaskan hal ini, kami jelaskan 5 peringkat hayah (kehidupan) Satu pandangan Bediuzzaman Said Nursi di dalam Maktubat, Al- Maktub Al-Awwal, dari koleksi Rasail Al-Nur. Nursi menjawab satu soalan… Apakah Sayyidina Khidir masih hidup..? Nursi menjawab ya…karena 'Hayah' itu 5 peringkat. Nabi Khidir A.s di peringkat kedua.
Lima Peringkat itu ialah:
1. Kehidupan kita sekarang yang banyak terikat pada masa dan tempat.
2. Kehidupan Sayyidina Khidir A.s & Sayyidina Ilyas A.s. Mereka mempunyai sedikit kebebasan dari ikatan seperti kita. Mereka boleh berada di banyak tempat dalam satu masa. boleh makan dan minum bila mereka mau. Para Aulia' dan ahli Kasyaf telah meriwayatkan secara Mutawatir akan wujudnya 'Hayah' di peringkat ini. Sehingga di dalam maqam 'Walayah' ada dinamakan maqam Khidir.
3. Peringkat ketiga ini seperti kehidupan Nabi Idris A.s & Nabi Isa A.s . Nursi kata, peringkat ini kehidupan nurani yang menghampiri hayah malaikat.
4. Peringkat ini pula…ialah kehidupan para Syuhada'. Mereka tidak mati, tetapi mereka hidup seperti disebut dalam Al- Qur'an. Ustadz Nursi sendiri pernah Musyahadah peringkat kehidupan ini.
5. Dan yang tingkat Hayah ini atau kehidupan rohani sekalian ahli kubur yang meninggal Wallahhua'lam. Subhanaka La 'Ilma Lana Innaka Antal 'Alimul Hakim.
Berikut ini kami nukilkan kisahnya :
1. Nabi KHIDIR A.s.
Bukhari, Ibn Al-Mandah, Abu Bakar Al-Arabi, Abu Ya'la, Ibn Al- Farra', Ibrahim Al-Harbi dan lain- lain berpendapat, Nabi Khidir A.s. tidak lagi hidup dengan jasadnya, ia telah wafat. Yang masih tetap hidup adalah ruhnya saja, sebagaimana firman Allah SWT: ﻭَﻣَﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﺒَﺸَﺮٍ ﻣِّﻦ ﻗَﺒْﻠِﻚَ ﺍﻟْﺨُﻠْﺪَ ﺃَﻓَﺈِﻥ ﻣِّﺖَّ ﻓَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺨَﺎﻟِﺪُﻭﻥَ "Kami tidak menjadikan seorang pun sebelum engkau (hai Nabi), hidup kekal abadi." (Q.S Al- Anbiya': 34) Hadist Marfu' dari Ibn Umar dan Jabir (R.a.) menyatakan: "Setelah lewat seratus tahun, tidak seorang pun yang sekarang masih hidup di muka bumi." Ibn Al-Salah, Al-Tsa'labi, Imam Al- Nawawi, Al-Hafiz Ibn Hajar Al- Asqalani dan kaum Sufi pada umumnya; demikian juga Jumhurul-'Ulama' dan Ahl Al- Salah (orang-orang shaleh), semua berpendapat, bahwa Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasadnya, ia akan meninggal dunia sebagai manusia pada akhir zaman. Ibnu Hajar Al- Asqalani di dalam Fath Al-Bari menyanggah pendapat orang- orang yang menganggap Nabi Khidir A.s. telah wafat, dan mengungkapkan makna hadist yang tersebut di atas, yaitu uraian yang menekankan, bahwa Nabi Khidir A.s. masih hidup sebagai manusia. Ia manusia Makhsus (dikhususkan Allah), tidak termasuk dalam pengertian hadist di atas.
Mengenai itu kami berpendapat:
a) Kekal berarti tidak terkena kematian. Kalau Nabi Khidir A.s. dinyatakan masih hidup, pada suatu saat ia pasti akan wafat. Dalam hal itu, ia tidak termasuk dalam pengertian ayat Al-Qur'an yang tersebut di atas selagi ia akan wafat pada suatu saat.
b) Kalimat di muka bumi yang terdapat dalam hadist tersebut, bermaksud adalah menurut ukuran yang dikenal orang Arab pada masa itu (dahulu kala) mengenai hidupnya seorang manusia di dunia. Dengan demikian maka Nabi Khidir A.s. dan bumi tempat hidupnya tidak termasuk bumi yang disebut dalam hadist di atas, karena bumi tempat hidupnya tidak dikenal orang-orang Arab.
c) Yang dimaksud dalam hal itu ialah generasi Rasulullah s.a.w. terpisah sangat jauh dari masa hidupnya Nabi Khidir A.s. Demikian menurut pendapat Ibnu Umar, yaitu tidak akan ada seorang pun yang mendengar bahwa Nabi Khidir A.s. wafat setelah usianya lewat seratus tahun. Hal itu terbukti dari wafatnya seorang bernama Abu al-Thifl Amir, satu-satunya orang yang masih hidup setelah seratus tahun sejak adanya kisah tentang Nabi Khidir A.s.
d) Apa yang dimaksud 'yang masih hidup' dalam hadist tersebut ialah: tidak ada seorang pun dari kalian yang pernah melihatnya atau mengenalnya. Itu memang benar juga.
e) Ada pula yang mengatakan, bahwa yang dimaksud kalimat tersebut (yang masih hidup) ialah menurut keumuman (Ghalib) yang berlaku sebagai kebiasaaan. Menurut kebiasaan amat sedikit jumlah orang yang masih hidup mencapai usia seratus tahun. Jika ada, jumlah mereka sangat sedikit dan menyimpang dari kaidah kebiasaaan; seperti yang ada di kalangan orang-orang Kurdistan, orang-orang Afghanistan, orang- orang India dan orang-orang dari penduduk Eropa Timur. Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasadnya atau dengan jasad yang baru. Dari semua pendapat tersebut, dapat disimpulkan: Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasad dan ruhnya, itu tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya.
Tegasnya, Nabi Khidir A.s masih hidup; atau, ia masih hidup hanya dengan ruhnya, mengingat kekhususan sifatnya. Ruhnya lepas meninggalkan Alam Barzakh berkeliling di alam dunia dengan jasadnya yang baru (Mutajassidah). Itu pun tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Dengan demikian maka pendapat yang menganggap Nabi Khidir A.s. masih hidup atau telah wafat, berkesimpulan sama; yaitu: Nabi Khidir A.s. masih hidup dengan jasadnya sebagai manusia, atau, hidup dengan jasad ruhi (ruhani).
Jadi, soal kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidir A.s. atau melihatnya adalah benar sebenar-benarnya. Semua riwayat mengenai Nabi Khidir A.s. yang menjadi pembicaraan Ahlullah (orang-orang bertaqwa dan dekat dengan Allah S.W.T.) adalah kenyataan yang benar terjadi. Banyak sekali riwayat-riwayat tentang nabi khidir A.s dalam kitab-kitab yang Mu'tabar. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi khidir A.s masih hidup dan mati ditangan Dajjal. Dajjal akan menangkap seorang pemuda beriman. Kemudian dajjal menyuruhnya untuk menyembahnya, tapi pemuda itu pun menolak dan tetap beriman pada Allah SWT. Lalu Dajjal membunuhnya dan membelah nya menjadi dua. satu bagian dilempar sejauh mata memandang dan satu bagian dilempar sejauh mata memandang kesebelah lainnya. Kemudian Dajjal menghidupkan kembali pemuda itu. Dajjal menyuruhnya agar beriman kepadanya karena ia telah mematikannya lalu menghidupkannya. Maka pemuda itu tidak mau dan tetap beriman kepada Allah SWT. Pemuda itu bahkan mengatakan "Kamu benar-benar Dajjal!!". Lalu Dajjal mewafatkannya lagi. Ada riwayat yang mengatakan pemuda beriman ini adalah Nabi Khidir A.s. (wallahua'lam).
2. Nabi ILYAS A.s.
Ketika sedang beristirahat datanglah malaikat kepada Nabi Ilyas A.s. Malaikat itu datang untuk menjemput ruhnya. Mendengar berita itu, Ilyas A.s menjadi sedih dan menangis. "Mengapa engkau bersedih..?" tanya malaikat maut. "Tidak tahulah." Jawab Ilyas A.s. "Apakah engkau bersedih karena akan meninggalkan dunia dan takut menghadapi maut?" tanya malaikat. "Tidak. Tiada sesuatu yang aku sesali kecuali karena aku menyesal tidak boleh lagi berdzikir kepada Allah, sementara yang masih hidup boleh terus berdzikir memuji Allah," jawab Ilyas A.s. Saat itu Allah SWT lantas menurunkan wahyu kepada malaikat agar menunda pencabutan nyawa itu dan memberi kesempatan kepada Nabi Ilyas A.s berdzikir sesuai dengan permintaannya. Nabi Ilyas A.s ingin terus hidup semata-mata karena ingin berdzikir kepada Allah SWT. Maka berdzikirlah Nabi Ilyas A.s sepanjang hidupnya. "Biarlah dia hidup di taman untuk berbisik dan mengadu serta berdzikir kepada-Ku sampai akhir nanti." Kata Allah SWT.
3. Nabi IDRIS A.s.
Diriwayatkan Nabi Idris A.s. telah naik ke langit pada hari senin. Peristiwa naiknya Nabi Idris A.s. ke langit ini, telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Firman Allah SWT bermaksud: "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah, Idris yang tersebut di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi." (Q.S Maryam: 56-57) Nama Nabi Idris A.s. yang sebenarnya adalah 'Akhnukh'. Sebab beliau dinamakan Idris, karena beliau banyak membaca, mempelajari (tadarrus) kitab Allah SWT. Setiap hari Nabi Idris A.s menjahit Qamis (baju kemeja), setiap kali beliau memasukkan jarum untuk menjahit pakaiannya, beliau mengucapkan kalimat Tasbih. Jika pekerjaannya sudah selesai, kemudian pakaian itu diserahkannya kepada orang yang memesannya tanpa meminta upah. Walau demikian, Nabi Idris A.s masih sanggup beribadah dengan amalan yang sukar untuk digambarkan. Sehingga Malaikat Maut sangat rindu berjumpa dengan beliau. Kemudian Malaikat Maut memohon kepada Allah SWT, agar diizinkan untuk pergi menemui Nabi Idris A.s. Setelah memberi salam, Malaikat pun duduk. Nabi Idris A.s. mempunyai kebiasaan berpuasa sepanjang masa. Ketika waktu berbuka puasa telah tiba, maka datanglah malaikat dari Syurga membawa makanan Nabi Idris A.s, dan beliau menikmati makanan tersebut. Kemudian baginda beribadah sepanjang malam.
Pada suatu malam Malaikat Maut datang menemuinya, sambil membawa makanan dari Syurga. Nabi Idris A.s menikmati makanan itu. Kemudian Nabi Idris A.s berkata kepada Malaikat Maut: "Wahai tuan, marilah kita nikmati makanan ini bersama-sama." Tetapi Malaikat itu menolaknya. Nabi Idris A.s terus melanjutkan ibadahnya, sedangkan Malaikat Maut itu dengan setia menunggu sampai terbit matahari. Nabi Idris A.s merasa heran melihat sikap Malaikat itu. Kemudian beliau berkata: "Wahai tuan, maukah tuan berjalan-jalan bersama saya untuk melihat keindahan alam sekitar..?” Malaikat Maut menjawab: “Baiklah Wahai Nabi Allah Idris A.s." Maka berjalanlah keduanya melihat alam sekitar dengan berbagai jenis tumbuh- tumbuhan hidup di situ. Akhirnya ketika mereka sampai pada suatu kebun, maka Malaikat Maut berkata kepada Nabi Idris A.s.: "Wahai Idris a.s, adakah tuan izinkan saya untuk mengambil ini untuk saya makan..?” Nabi Idris A.s pun menjawab: “Subhanallah, mengapa malam tadi tuan tidak mau memakan makanan yang halal, sedangkan sekarang tuan mau memakan yang haram..?" Kemudian Malaikat Maut dan Nabi Idris A.s meneruskan perjalanan mereka.
Tidak terasa oleh mereka bahwa mereka telah berjalan-jalan selama empat hari. Selama mereka bersahabat, Nabi Idris A.s menemui beberapa keanehan pada diri temannya itu. Segala tindak-tanduknya berbeda dengan sifat-sifat manusia biasa. Akhirnya Nabi Idris A.s tidak dapat menahan hasrat rasa ingin tahunya itu. Dan kemudian beliau bertanya: "Wahai tuan, bolehkah saya tahu, siapakah tuan yang sebenarnya...?” Saya adalah Malaikat Maut." Jawab malaikat maut "Tuankah yang bertugas mencabut semua nyawa makhluk...?" tanya Nabi Idris A.s "Benar ya Idris A.s." Jawab malaikat maut "Sedangkan tuan bersama saya selama empat hari, adakah tuan juga telah mencabut nyawa- nyawa makhluk...?" tanya Nabi Idris A.s "Wahai Idris A.s, selama empat hari ini banyak sekali nyawa yang telah saya cabut. Roh makhluk-makhluk itu bagaikan hidangan di hadapanku, aku ambil mereka bagaikan seseorang sedang menyuap- nyuap makanan." Jawab malaikat maut "Wahai Malaikat, apakah tujuan tuan datang, apakah untuk ziarah atau untuk mencabut nyawaku...?" tanya Nabi Idris A.s "Saya datang untuk menziarahimu dan Allah SWT telah mengizinkan niatku itu." Jawab malaikat maut "Wahai Malaikat Maut, kabulkanlah satu permintaanku kepadamu, yaitu agar tuan mencabut nyawaku, kemudian tuan mohonkan kepada Allah SWT agar Allah SWT menghidupkan saya kembali, supaya aku dapat menyembah Allah SWT setelah aku merasakan dahsyatnya sakaratul maut itu." Malaikat Maut pun menjawab: "Sesungguhnya saya tidaklah mencabut nyawa seseorang pun, melainkan hanya dengan izin dari Allah SWT." Lalu Allah SWT mewahyukan kepada Malaikat Maut, agar ia mencabut nyawa Idris A.s. Maka dicabutnya nyawa Idris A.s saat itu juga. Dan Nabi Idris A.s pun merasakan kematian saat itu. Ketika Malaikat Maut melihat kematian Nabi Idris A.s itu, maka menangislah ia. Dengan perasaan iba dan sedih ia memohon kepada Allah SWT supaya Allah SWT menghidupkan kembali sahabatnya itu. Allah SWT mengabulkan permohonannya, dan Nabi Idris A.s pun dihidupkan oleh Allah SWT kembali. Kemudian Malaikat Maut memeluk Nabi Idris A.s, dan ia bertanya: "Wahai saudaraku, bagaimanakah tuan merasakan kesakitan maut itu...? " "Bila seekor binatang dilepas kulitnya ketika ia masih hidup, maka sakitnya maut itu seribu kali lebih sakit daripadanya. "Padahal kelembutan yang saya lakukan ketika mencabut nyawa terhadap tuan, ketika saya mencabut nyawa tuan itu, belum pernah saya lakukan terhadap siapa pun sebelum tuan." Jawab malaikat maut "Wahai Malaikat Maut, saya mempunyai permintaan lagi kepada tuan, yaitu saya sungguh-sungguh berhasrat melihat Neraka, supaya saya dapat beribadah kepada Allah SWT lebih banyak lagi, setelah saya menyaksikan dahsyatnya api neraka itu." "Wahai Idris A.s. saya tidak dapat pergi ke Neraka jika tanpa izin dari Allah SWT." Jawab malaikat maut Akhirnya Allah SWT mewahyukan kepada Malaikat Maut agar ia membawa Nabi Idris A.s ke dalam Neraka. Maka pergilah mereka berdua ke Neraka. Di Neraka itu, Nabi Idris A.s. dapat melihat semua yang diciptakan Allah SWT untuk menyiksa musuh-musuh-Nya. Seperti rantai-rantai yang panas, ular yang berbisa, kala, api yang membara, timah yang mendidih, pokok-pokok yang penuh berduri, air panas yang mendidih dan lain-lain. Setelah merasa puas melihat keadaan Neraka itu, maka mereka pun pulang. Kemudian Nabi Idris A.s. berkata kepada Malaikat Maut: "Wahai Malaikat Maut, saya mempunyai hajat yang lain, yaitu agar tuan dapat menolong saya membawa masuk ke dalam Syurga. Sehingga saya dapat melihat apa-apa yang telah disediakan oleh Allah SWT bagi kekasih- kekasih-Nya. Setelah itu saya pun dapat meningkatkan lagi ibadah saya kepada Allah SWT. Saya tidak dapat membawa tuan masuk ke dalam Syurga, tanpa perintah dari Allah SWT." Jawab Malaikat Maut. Lalu Allah SWT pun memerintahkan kepada Malaikat Maut supaya ia membawa Nabi Idris A.s masuk ke dalam Syurga. Kemudian pergilah mereka berdua hingga mereka sampai di pintu Syurga dan mereka berhenti di pintu tersebut. Dari situ Nabi Idris A.s dapat melihat pemandangan di dalam Syurga. Nabi Idris A.s dapat melihat segala macam kenikmatan yang disediakan oleh Allah SWT untuk para wali- wali-Nya. Berupa buah-buahan, pokok-pokok yang indah dan sungai-sungai yang mengalir dan lain-lain. Kemudian Nabi Idris A.s berkata: "Wahai saudaraku Malaikat Maut, saya telah merasakan pahitnya maut dan saya telah melihat dahsyatnya api Neraka. Maka maukah tuan memohonkan kepada Allah SWT untukku, agar Allah SWT mengizinkan aku memasuki Syurga untuk dapat meminum airnya, untuk menghilangkan kesakitan mati dan dahsyatnya api Neraka...?" Maka Malaikat Maut pun memohon kepada Allah SWT. Dan kemudian Allah SWT memberikan izin kepadanya untuk memasuki Syurga tapi kemudian harus keluar lagi. Nabi Idris A.s pun masuk ke dalam Syurga, beliau meletakkan kasutnya di bawah salah satu pohon Syurga, lalu ia keluar kembali dari Syurga. Setelah beliau berada di luar, Nabi Idris A.s berkata kepada Malaikat Maut: "Wahai Malaikat Maut, aku telah meninggalkan kasutku di dalam Syurga.” Malaikat Maut pun berkata: “Masuklah ke dalam Syurga, dan ambil kasut tuan." Maka masuklah Nabi Idris A.s, namun beliau tidak keluar lagi, sehingga Malaikat Maut memanggilnya: "Ya Idris A.s, keluarlah..!”. “Tidak, wahai Malaikat Maut, karena Allah SWT telah berfirman: "Setiap yang berjiwa akan merasakan mati." (Q.S Ali- Imran: 185) Sedangkan saya telah merasakan kematian. Dan Allah berfirman yang bermaksud: "Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi Neraka itu." (Q.S Maryam: 71) Dan saya pun telah mendatangi Neraka itu. Dan firman Allah lagi yang bermaksud: "… Dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya (Syurga)." (Q.S Al-Hijr: 4) Maka Allah menurunkan wahyu kepada Malaikat Maut itu: "Biarkanlah dia, karena Aku telah menetapkannya di Azali, bahwa ia akan bertempat tinggal di Syurga."
Allah menceritakan tentang kisah Nabi Idris A.s ini kepada Rasulullah SAW dengan firman- Nya: "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris yang tersebut di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi." (Q.S Maryam: 56-57)
4. Nabi ISA A.s.
Seorang lagi Nabi Allah yang diceritakan dari kecil di dalam Al- Qur'an ialah Isa A.s. Baginda diutus kepada kaum Bani Israil dengan kitab Injil yang diturunkan sebelum Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an, Nabi Isa A.s disebut dengan empat panggilan yaitu Isa, Isa putera Maryam, putera Maryam, dan Al-Masih. Ibunya seorang yang sangat dimuliakan Allah. Dia memilihnya di atas semua perempuan di semua alam. Firman-Nya, "Dan ketika malaikat-malaikat berkata, 'Wahai Mariam, Allah memilih kamu, dan membersihkan kamu, dan Dia memilih kamu di atas semua perempuan di semua alam'" (3:42). Maryam, ibu Nabi Isa A.s, telah menempuh satu ujian yang amat berat daripada Allah. Dia dipilih untuk melahirkan seorang Nabi dengan tanpa disentuh oleh seseorang lelaki. Dia adalah seorang perempuan yang suci. Kelahiran Nabi Isa A.s merupakan suatu mukjizat kerana dilahirkan tanpa bapak.
Kisahnya diceritakan di dalam Al-Qur'an. Di sini, ceritanya bermula dari kunjungan malaikat kepada Maryam atas perintah Allah. Ketika itu, malaikat menyerupai manusia dengan tanpa cacat. Kemunculan malaikat membuat Maryam menjadi takut lalu berkata, “Aku berlindung pada Yang Pemurah daripada kamu, jika kamu bertakwa (takut kepada Tuhan)..!” Dia (malaikat) berkata, “Aku hanyalah seorang rasul yang datang daripada Pemelihara kamu, untuk memberi kamu seorang anak lelaki yang suci." (19:18-19) Pada ayat yang lain, diceritakan bahwa malaikat yang datang itu telah memberi nama kepada putera yang bakal dilahirkan. Nama itu diberi oleh Allah, dan dia (Isa) akan menjadi terhormat di dunia dan akhirat sambil berkedudukan dekat dengan Tuhan. Ayatnya berbunyi: "Wahai Maryam, Allah menyampaikan kepada kamu berita gembira dengan satu Kata daripada-Nya, yang namanya Al- Masih, Isa putera Maryam, terhormat di dunia dan di akhirat, daripada orang-orang yang didekatkan." (3:45) Kemudian Maryam bertanya, "Bagaimanakah aku akan ada seorang anak lelaki sedang tiada seorang manusia pun menyentuhku, dan bukan juga aku seorang jalang...?" (19:20) Malaikat menjawab, "Dia (Allah) berkata, 'Begitulah; Pemelihara kamu telah berkata, 'Itu mudah bagi-Ku; dan supaya Kami membuat dia satu ayat (tanda) bagi manusia, dan satu pengasihan daripada Kami; ia adalah perkara yang telah ditentukan'" (19:21). Maka lahirlah Isa putera Maryam lebih enam ratus tahun sebelum Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Allah SWT membuat Nabi Isa A.s dan ibunya satu ayat (tanda) bagi manusia, yaitu tanda untuk menunjukkan kebesaran-Nya ( 23:50).
Isa A.s adalah seorang Nabi dan juga seorang Rasul. Baginda dan beberapa orang rasul telah dilebihkan Allah SWT daripada rasul-rasul lain. Ada yang Dia berkata-kata kepadanya, ada yang Dia menaikkan derajad, dan bagi Isa A.s, Dia memberi bukti- bukti yang jelas serta mengukuhkannya dengan Roh Suci. Firman-Nya: "Dan rasul-rasul itu, sebahagian Kami melebihkan di atas sebahagian yang lain. Sebagian ada yang kepadanya Allah SWT berkata-kata, dan sebagian Dia menaikkan derajad. Dan Kami memberikan Isa putera Maryam bukti-bukti yang jelas, dan Kami mengukuhkan dia dengan Roh Qudus (Suci)." (2:253) Namun begitu, manusia dilarang oleh Allah SWT untuk membeda- bedakan antara para rasul dan Nabi. Larangan itu berbunyi, "Katakanlah, Kami percaya kepada Allah SWT, dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, dan Ismail, dan Ishak, dan Yaakub, dan puak-puak, dan apa yang diberi kepada Musa, dan Isa, dan apa yang diberi kepada Nabi-Nabi daripada Pemelihara mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun antara mereka, dan kepada-Nya kami muslim.'" (2:136) Akibat membeda-bedakan Nabi atau Rasul dapat dilihat pada hari ini, yaitu Nabi Isa A.s dipercayai oleh sebagian pihak sebagai Tuhan atau anak Tuhan, dan Nabi Muhammad SAW, dianggap macam Tuhan, yang berhak membuat hukum agama.
Oleh karena Isa A.s adalah seorang Nabi maka baginda diberi sebuah Kitab, yaitu Injil, yang mengandung petunjuk dan cahaya untuk menjadi pegangan Bani Israil. Selain menyeru kepada Bani Israil untuk menyembah Allah SWT dengan mentaati Injil, baginda juga mengesahkan kitab Taurat yang diturunkan sebelumnya. Dua firman Allah SWT menjelaskannya di sini, berbunyi: "Dan Kami mengutus, menyusuli jejak-jejak mereka, Isa putera Maryam, dengan mengesahkan Taurat yang sebelumnya; dan Kami memberinya Injil, di dalamnya petunjuk dan cahaya," (5:46) dan, "Aku (Isa) hanya mengatakan kepada mereka apa yang Engkau memerintahkan aku dengannya: 'Sembahlah Allah SWT, Pemelihara aku dan Pemelihara kamu.'" (5:117) Turut disebut di dalam Injil (dan Taurat) ialah berita mengenai kedatangan seorang Nabi berbangsa Arab, atau Ummiy ( 7:157), dan janji dikaruniakan Taman atau Syurga bagi orang- orang yang berperang di jalan Allah ( 9:111). Janji itu juga didapati di dalam Taurat dan Al- Qur'an. Ketika baginda diutus, manusia sedang berselisih dalam hal agama. Maka kedatangannya adalah juga untuk memperjelas apa yang sedang diperselisihkan. Firman Allah SWT: "dia (Isa) berkata, Aku datang kepada kamu dengan kebijaksanaan, dan supaya aku memperjelaskan kepada kamu sebahagian apa yang dalamnya kamu memperselisihkan; maka kamu takutilah Allah, dan taatlah kepadaku.'" (43:63).
Baginda juga memberitahu tentang kedatangan seorang rasul selepas baginda, yang namanya akan dipuji. Ayat yang mengisahkannya berbunyi: "Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku (Isa) rasul Allah kepada kamu, mengesahkan Taurat yang sebelum aku, dan memberi berita gembira dengan seorang rasul yang akan datang selepas aku, namanya Ahmad (dipuji)." (61:6) Seperti Nabi atau Rasul yang lain, baginda mempunyai pengikut- pengikut yang setia dan juga yang tidak setia atau yang menentang. Pengikut- pengikutnya yang setia percaya kepada Allah SWT dan kepadanya. Mereka adalah muslim. Firman Allah: "Dan ketika Aku mewahyukan pengikut-pengikut yang setia, Percayalah kepada-Ku, dan rasul- Ku; mereka berkata, Kami percaya, dan saksilah Engkau akan kemusliman kami.'" (5:111) Pengikut-pengikut yang setia pula menjadi penolong- penolong, bukan baginya tetapi bagi Allah SWT. Firman-Nya: "Berkatalah pengikut- pengikutnya yang setia, Kami akan menjadi penolong- penolong Allah SWT; kami percaya kepada Allah SWT, dan saksilah kamu akan kemusliman kami.'" (3:52) Begitu juga bagi pengikut- pengikut setia Nabi-Nabi lain, termasuk Muhammad SAW. Semuanya menjadi penolong- penolong Allah SWT, untuk melaksanakan dan menyampaikan pesan-Nya. Firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang percaya, jadilah kamu penolong- penolong Allah, sebagaimana Isa putera Maryam berkata kepada pengikut-pengikut yang setia, Siapakah yang akan menjadi penolong-penolong aku bagi Allah SWT? Pengikut-pengikut yang setia berkata, kami akan menjadi penolong-penolong Allah SWT." (61:14) Walau bagaimana pun, pengikut- pengikut Nabi Isa A.s yang setia memerlukan bukti selanjutnya untuk mengesahkan kebenarannya dan supaya hati mereka menjadi tenteram. Untuk itu mereka memohon sebuah meja hidangan dari langit.
Kisahnya berbunyi begini: "Dan apabila pengikut-pengikut yang setia berkata, 'Wahai Isa putera Maryam, bolehkah Pemelihara kamu menurunkan kepada kami sebuah meja hidangan dari langit?' Dia (Isa) berkata, 'Kamu takutilah Allah SWT, jika kamu orang-orang mukmin.' Mereka berkata, 'Kami menghendaki untuk memakan daripadanya, dan hati kami menjadi tenteram, supaya kami mengetahui bahwa kamu berkata benar kepada kami, dan supaya kami adalah antara para saksinya.'" (5:112-113) Justru itu, baginda memohon kepada Allah SWT, "Ya Allah, Pemelihara kami, turunkanlah kepada kami sebuah meja hidangan dari langit, yang akan menjadi bagi kami satu perayaan, yang pertama dan yang akhir bagi kami, dan satu ayat (tanda) daripada Engkau. Dan berilah rezeki untuk kami; Engkau yang terbaik daripada pemberi-pemberi rezeki." (5:114) Allah SWT mengabulkan permintaannya. Lantas, meja hidangan yang turun menjadi satu lagi mukjizat bagi Nabi Isa A.s. Dan ia juga menjadi nama sebuah surat di dalam Al-Qur'an, yaitu surat kelima, Al-Maidah.
Selain daripada kelahiran yang sangat luar biasa dan meja hidangan, Nabi Isa A.s telah dikaruniai dengan beberapa mukjizat lain. Ayat berikut menjelaskannya: "Ketika Allah SWT berkata, 'Wahai Isa putera Maryam, ingatlah akan rahmat-Ku ke atas kamu, dan ke atas ibu kamu, apabila Aku mengukuhkan kamu dengan Roh Qudus (Suci), untuk berkata-kata kepada manusia di dalam buaian dan setelah dewasa ….. Dan apabila kamu mencipta daripada tanah liat, dengan izin- Ku, yang seperti bentuk burung, dan kamu menghembuskan ke dalamnya, lalu jadilah ia seekor burung , dengan izin-Ku, Dan kamu menyembuhkan orang buta, dan orang sakit kusta , dengan izin-Ku, Dan kamu mengeluarkan orang yang mati , dengan izin-Ku' ….. lalu orang-orang yang tidak percaya antara mereka berkata, 'Tiadalah ini, melainkan sihir yang nyata.'" (5:110).
Walaupun Nabi Muhammad SAW hanya diberi satu mukjizat, manusia dicegah dari berkata bahwa Nabi Isa A.s adalah lebih mulia daripada Nabi Muhammad SAW. Karena, seperti yang sudah diketahui bahwa amalan yang berupa membeda-bedakan para Nabi dan Rasul adalah dilarang oleh Allah SWT. "Ketika Allah SWT berkata, 'Wahai Isa, Aku akan mematikan kamu, dan menaikkan kamu kepada-Ku, dan Aku membersihkan kamu daripada orang-orang yang tidak percaya …..'" (3:55) "Dan aku (Isa) seorang saksi atas mereka selama aku di kalangan mereka; tetapi setelah Engkau mematikan aku, Engkau Sendiri adalah penjaga atas mereka; Engkau saksi atas segala sesuatu." (5:117) Akan tetapi, sebagian dari kaum Bani Israil mengatakan bahwa mereka telah membunuhnya dengan cara di salib. Namun Allah SWT mengatakan yang sebaliknya. Dengan apa yang terjadi hanyalah satu kesamaan saja. Firman-Nya: "ucapan mereka, 'Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putera Maryam, rasul Allah.' Tetapi mereka tidak membunuhnya, dan tidak juga menyalibnya, tetapi hanya satu kesamaan yang ditunjukkan kepada mereka. Orang-orang yang berselisih mengenainya benar-benar dalam keraguan terhadapnya; mereka tidak ada pengetahuan mengenainya, kecuali mengikuti sangkaan; mereka tidak membunuhnya, yakinlah." (4:157) Di akhir zaman nabi Isa A.s akan turun kembali ke bumi, bukan sebagai nabi tapi sebagai ummat nabi Muhammad SAW. (mengikut syariat nabi Muhammad SAW). akan berdakwah mengajak ummat kristiani untuk masuk islam, menghancurkan salib-salib, membunuh Dajjal.

Tempat di BunuhnyaDajjal

Dari Abdullah Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda "Ketika saya sedang tidur, saya bermimpi melakukan tawaf di Kaabah, lalu ada seorang berambut lebat yang meneteskan air dari kepalanya, lalu aku tanyakan siapakah ini, mereka menjawab, "Ibnu Maryam as", kemudian aku berpaling dan melihat seorang laki-laki yang gemuk, berkulit merah, berambut keriting, matanya buta sebelah, dan matanya itu seperti buah anggur yang masak (tak bersinar). Mereka mengatakan, "Ini Dajjal". Dia adalah orang yang paling mirip dengan Ibnu Qathn, seorang laki-laki dari Khuza'ah." [HR al-Bukhari, dan Muslim]. Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda, Dajjal itu matanya terhapus (buta), tertulis di antara kedua matanya kafir, kemudian beliau mengejanya, kafir yang boleh dibaca oleh setiap orang muslim dan di antara kedua matanya terdapat tulisan "kafir" (HR Muslim) Pada hadis pertama di atas menyebutkan beberapa ciri fizikal dajjal, iaitu postur tubuhnya gemuk, kulitnya kemerah-merahan, sebelah matanya buta, matanya seperti buah anggur yang masak.
Dan pada hadis kedua disebutkan ciri yang lain, iaitu tertulis huruf kafir di antara kedua matanya. Tanda itu boleh difahami oleh setiap muslim baik yang boleh membaca maupun yang buta huruf. Ummu Syuraik bertanya kepada Rasulullah tentang hari dajjal : "Ya Rasulullah ke mana orang-orang Arab ketika itu?". Rasulullah menjawab "Jumlah mereka pada waktu itu terlalu sedikit. Mereka lari ke Baitulmaqdis menjumpai Imam (Imam Mahdi) mereka. Ketika Imam mereka sudah berdiri di depan untuk mengimamkan solat subuh, tiba-tiba datang Isa Bin Maryam. Imam itu mahu mundur untuk memberi peluang kepada Isa, tetapi Isa sambil memegang bahu Imam itu berkata : "Teruskanlah, sesungguhnya Iqamat dibacakan untuk engkau". Maka sembahyanglah mereka semua dibelakang Imam tadi. Selesai solat, Isa A.S. berkata kepada semua jemaah : "Bukakan pintu itu". Mereka membuka pintu Masjid itu, tiba- tiba Dajjal sudah berdiri di situ dan di belakangnya ada 70,000 orang Yahudi lengkap bersenjata. Melihat Isa A.S. ada di dalam masjid itu, Dajjal tiba-tiba sahaja cair seperti cairnya garam disirami air. Dajjal lari kerana ketakutan Isa terus sahaja mengejarnya kemudian menjumpai di Babu Luddi dan di situlah Isa A.S. membunuhnya. Orang-orang Yahudi cuba melarikan diri dan bersembunyi tetapi semua benda tempat mereka bersembunyi akan berkata-kata dengan izin Allah. Benda-benda dimaksudkan termasuklah dinding, batu, pokok, kayu dan termasuk juga sepohon pokok berduri (disebut pokok Yahudi). Pintu masuk ke kota Lod.
Tempat Dajjal akan dibunuh. Jauh tempat ini dari Jeruselem lebih kurang 45 km Kawasan berbukit yang subur di kota Lod, kota yang berumur 2000 tahun Lod (Bahasa Ibrani: לוֹד; Arab: ﺍَﻟْﻠُﺪّْ, al-Ludd; Greco-Latin Lydda), juga dieja dan disebut Ludd, ialah sebuah bandar diDaerah Tengah, Israel, sekitar 20 kilometer di tenggara Tel Aviv dan 3 kilometer utara Ramallah. Pada akhir tahun 2007, kota ini berpenduduk 67,000 orang, di mana 80% daripadanya adalah dari kaum Yahudi, manakala 20% lagi dari umat Arab Palestin berikutan projek perluasaan tapak penempatan haram Yahudi. Nama lama kota ini, selama ribuan tahun, ialah Lydda, Lydea dan Al-Lydd, dan kota ini juga terkenal dengan nama Diospolis. Dalam Injil 1 Tawarikh 8 disebutkan bahawa kota ini menjadi tempat tinggal bagi Suku Bunyamin (anak kepada Nabi Yaakub a.s. dan adik kepada Nabi Yusuf a.s.). Kononnya, di tempat inilah Santo Peter menyembuhkan seseorang yang mengalami penyakit lumpuh, seperti yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul 9: 32-38. Di kota ini ada sebuah gereja yang dikenali sebagai: Gereja Santo Georgius dan sebuah Masjid yakni: Masjid El-Chodr. Bahagian tempat peribadatan itu membentuk kompleks bangunan, gereja dan masjid itu juga memiliki pintu masuk yang unik. Kota ini dikenali kerana mempunyai sistem Bandar Antarabangsa yang mempunyai banyak persamaan dengan Bandar Tel Aviv yakni Bandar Ben Gurion. Setakat ini telah adanya jalan raya dan jalur KA yang menghubungkan kota ini dengan Tel Aviv. Lapangan terbang utama Israel, Lapangan Terbang Antarabangsa Ben Gurion (dahulunya dikenali sebagai Lapangan Terbang Lydda, RAF Lydda, dan Lapangan Terbang Lod) terletak di bandar ini. Mengikut perspektif Islam pula, di pagar/tembok Kota Lod inilah akan terjadinya pembunuhan Dajal oleh Nabi Isa a.s.
Dalam hadits Nawwas bin Sam'an yang panjang yang membicarakan kemunculan Dajjal dan turunnya Isa alaihissalam, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Ketika Allah telah mengutus al- Masih Ibnu Maryam, maka turunlah ia di menara putih di sebelah timur Damsyik dengan mengenakan dua buah pakaian yang dicelup dengan waras dan zafaran, dan kedua telapak tangannya diletakkannya di sayap dua Malaikat; bila ia menundukkan kepala maka menurunlah rambutnya, dan jika diangkatnya kelihatan landai seperti mutiara. Maka tidak ada orang kafir pun yang mencium nafasnya kecuali pasti meninggal dunia, padahal nafasnya itu sejauh mata memandang. Lalu Isa mencari Dajjal hingga menjumpainya di pintu Lud, lantas dibunuhnya Dajjal hingga menjumpainya di pintu Lud, lantas dibunuhnya Dajjal. Kemudian Isa datang kepada suatu kaum yang telah dilindungi Allah dari Dajjal, lalu Isa mengusap wajah mereka dan memberi tahu mereka tentang darjat mereka di syurga." (Shahih Muslim, Kita Al- Fitan wa Asyrathis Sa'ah, Bab Dzikr Ad-Dajjal 18:67-68) Aus bin Aus Ats-Tsaqafi meriwatkan bahwa Rasulullah shalallhu 'alaihi wasallam bersabda, "'Isa bin Maryam akan turun di Menara Putih sebelah timur Kota Damsyik." (HR Thabrani) Menurut Ibnu Katsir Nabi Isa akan turun disisi menara sebelah timur Masjid Jamik Umawi iaitu di sebelah timur Damaskus/Damsyik. Menara tersebut telah diperbaiki pada zaman Ibnu Katsir iaitu pada tahun 741 Hijrah. Pembiayaanya diambil dari harta orang-orang Nasrani yang sebelumnye telah membakar menara tersebut.Hafiz Ibnu Katsir dalam an-Nihayah berkata, "Inilah pendapat yang lebih masyhur tentang tempat turunnya Isa, iaitu di menara putih di timur Damsyik. Dan saya telah melihat di sebagian buku bahwa Isa turun di menara putih sebelah timur Jami' Damsyik. Mungkin inilah yang lebih valid dan bunyi riwayatnya, 'Maka dia turun di atas menara putih yang ada di timur Damsyik'. Jadi rawi membuat redaksi sendiri sesuai dengan apa yang dia fahami. Dan di Damsyik tidak ada menara yang dikenali dengan menara timur kecuali menara yang berada di timur Jami' Umawi dan inilah yang lebih cocok dan lebih sesuai kerana Isa turun pada saat didirikannya shalat…" (An- Nihayah fi al-Fitan wa al- Malahim I/192).
Menurut Sami bin Abdullah Al- Maghluts pula dalam bukunya Athlas Tarikh al-Anbiya' wa ar- rosul (atlas sejarah nabi dan rosul) ada dua buah menara yang sangat mirip sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas. Kedua menara itu adalah menara Masjid al-Umawi (Umayyah) yang di bangun oleh al-Walid bin Abdul Malik (lihat atlas hadist karya Syauqi Abu Khalil) dan menara tembok damaskus. Kedua tempat tersebut memiliki kemiripan yang diduga disana lah Isa AS akan turun. Sifat Dan Rupa Nabi Isa Alaihissalam Adapun sifat-sifatnya maka Nabi kita saw telah menyatakan bahawa Isa adalah laki-laki berperawakan sedang tidak tinggi tidak pendek, berwajah bulat, berkulit kemerah- merahan, berdada lapang, orang yang paling mirip dengannya adalah Urwah bin Mas'ud ast-Tsaqafi.
Dari Abu Hurairah bahawasanya Rasulullah saw bersabda, "Antara diriku dengan Isa tidak ada nabi, dan sesungguhnya dia pasti turun. Jika kalian melihatnya maka kenalilah dia. Sesungguhnya dia berperawakan sedang, putih kemerah-merahan, dia turun di antara dua potong baju berwarna kekuning-kuningan, kepalanya seolah-olah menetes walaupun tidak basah, dia memerangi manusia di atas Islam, lalu dia mematahkan salib, membunuh babi dan menghapus jizyah. Pada masanya Allah menghancurkan semua agama kecuali Islam, dia membunuh al-Masih ad-Dajjal kemudian tinggal di bumi selama 40 tahun kemudian wafat dan kaum muslimin menshalatkannya." (HR. Abu Dawud, al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah) Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, "Pada malam Isra'…. Dan saya bertemu dengan Isa. Lalu Nabi saw menjelaskan ciri- cirinya, 'Orangnya sedang, kulitnya kemerah-merahan, seolah-olah dia habis mandi, saya melihatnya…'." (HR. al- Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi) Dari Jabir bin Abdullah bahawa Rasulullah saw bersabda, "Saya bertemu dengan para nabi, ternyata Musa…. Saya melihat Isa bin Maryam, ternyata orang yang paling mirip dengannya adalah Urwah bin Mas'ud…." (HR. Muslim dan at- Tirmidzi) Dari Abdullah bin Abbas Rasulullah saw menceritakan malam Isra'nya, beliau bersabda, "Saya melihat Isa berperawakan sedang kemerah-merahan berambut lurus…." (HR. al-Bukhari dan Muslim) sumber

NABI KHIDIR. AS
Perihal Nabi Khidir a.s.

Bukhari, Ibn al-Mandah, Abu Bakar al-Arabi, Abu Ya’la, Ibn al-Farra’, Ibrahim al-Harbi dan lain-lain berpendapat, Nabi Khidir a.s. tidak lagi hidup dengan jasadnya, ia telah wafat. Yang masih tetap hidup adalah ruhnya saja, iaitu sebagaimana firman Allah:

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

“Kami tidak menjadikan seorang pun sebelum engkau (hai Nabi), hidup kekal abadi.” (al-Anbiya’: 34)
Hadith marfu’ dari Ibn Umar dan Jabir (r.a.) menyatakan:
“Setelah lewat seratus tahun, tidak seorang pun yang sekarang masih hidup di muka bumi.”
Ibn al-Šalah, al-Tsa’labi, Imam al-Nawawi, al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dan kaum Sufi pada umumnya; demikian juga jumhurul-‘ulama’ dan ahl al-šalah (orang-orang saleh), semua berpendapat, bahawa Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya, ia akan meninggal dunia sebagai manusia pada akhir zaman. Ibn Hajar al-Asqalani di dalam Fath al-Bari menyanggah pendapat orang-orang yang menganggap Nabi Khidir a.s. telah wafat, dan mengungkapkan makna hadith yang tersebut di atas, iaitu huraian yang menekankan, bahawa Nabi Khidir a.s. masih hidup sebagai manusia. Ia manusia makhsus (dikhususkan Allah), tidak termasuk dalam pengertian hadith di atas.


Mengenai itu Ulama berpendapat:

1. Kekal bererti tidak terkena kematian. Kalau Nabi Khidir a.s. dinyatakan masih hidup, pada suatu saat ia pasti akan wafat. Dalam hal itu, ia tidak termasuk dalam pengertian ayat al-Qur’an yang tersebut di atas selagi ia akan wafat pada suatu saat.

2. Kalimat ‘di muka bumi’ yang terdapat dalam hadith tersebut, bermaksud adalah menurut ukuran yang dikenal orang Arab pada masa itu (dahulu kala) mengenai hidupnya seorang manusia di dunia. Dengan demikian maka Nabi Khidir a.s. dan bumi tempat hidupnya tidak termasuk ‘bumi’ yang disebut dalam hadith di atas, kerana ‘bumi’ tempat hidupnya tidak dikenal orang-orang Arab.

3. Yang dimaksud dalam hal itu ialah generasi Rasulullah s.a.w. terpisah sangat jauh dari masa hidupnya Nabi Khidir a.s. Demikian menurut pendapat Ibn Umar, iaitu tidak akan ada seorang pun yang mendengar bahawa Nabi Khidir a.s. wafat setelah usianya lewat seratus tahun. Hal itu terbukti dari wafatnya seorang bernama Abu al-Thifl Amir, satu-satunya orang yang masih hidup setelah seratus tahun sejak adanya kisah tentang Nabi Khidir a.s.

4. Apa yang dimaksud ‘yang masih hidup’ dalam hadith tersebut ialah: tidak ada seorang pun dari kalian yang pernah melihatnya atau mengenalnya. Itu memang benar juga.

5. Ada pula yang mengatakan, bahawa yang dimaksud kalimat tersebut (yang masih hidup) ialah menurut keumuman (ghalib) yang berlaku sebagai kebiasaaan. Menurut kebiasaan amat sedikit jumlah orang yang masih hidup mencapai usia seratus tahun. Jika ada, jumlah mereka sangat sedikit dan menyimpang dari kaedah kebiasaaan; seperti yang ada di kalangan orang-orang Kurdistan, orang-orang Afghanistan, orang-orang India dan orang-orang dari penduduk Eropah Timur.

Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya atau dengan jasad yang baru.
Dari semua pendapat tersebut, dapat disimpulkan: Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasad dan ruhnya, itu tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Tegasnya, Nabi Khidir a.s masih hidup; atau, ia masih hidup hanya dengan ruhnya, mengingat kekhususan sifatnya.
Ruhnya lepas meninggalkan Alam Barzakh berkeliling di alam dunia dengan jasadnya yang baru (mutajassidah). Itupun tidak terlalu jauh dari kemungkinan sebenarnya. Dengan demikian maka pendapat yang menganggap Nabi Khidir a.s. masih hidup atau telah wafat, berkesimpulan sama; iaitu: Nabi Khidir a.s. masih hidup dengan jasadnya sebagai manusia, atau, hidup dengan jasad ruhi (ruhani). Jadi, soal kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidir a.s. atau melihatnya adalah benar sebenar-benarnya. Semua riwayat mengenai Nabi Khidir a.s. yang menjadi pembicaraan ahlullah (orang-orang bertaqwa dan dekat dengan Allah S.W.T.) adalah kenyataan yang benar terjadi.

Silakan lihat kitab Ušul al-Wušul karya Imam al-Ustaz Muhammad Zaki Ibrahim, Jilid I, Bab: Kisah Khidir Bainas-Šufiyah Wa al-‘Ulama’. Dipetik dengan sedikit perubahan dari al-Hamid al-Husaini, al-Bayan al-Syafi Fi Mafahimil Khilafiyah; Liku-liku Bid‘ah dan Masalah Khilafiyah (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1998, m.s. 488).
Bediuzzaman Said Nursi di dalam Maktubat, al-Maktub al-Awwal, dari koleksi Rasail al-Nur.
Nursi menjawab satu soalan…adakah Sayyidina Khidr masih hidup?
Nursi menjawab ya…kerana ‘hayah’ itu 5 peringkat. Nabi Khidr di peringkat kedua.

5 Peringkat ‘hayah’ itu ialah:

1. Kehidupan kita sekarang yang banyak terikat pada masa dan tempat.

2. Kehidupan Sayyidina Khidr dan Sayyidina Ilyas. Mereka mempunyai sedikit kebebasan dari ikatan seperti kita. Mereka boleh berada di byak tempat dalam satu masa. boleh makan dan minum bila mereka mahu. Para Awliya’dan ahli kasyaf telah meriwayatkan secara mutawatir akan wujudnya ‘hayah’ di peringkat ini. Sehingga di dalam maqam ‘walayah’ ada dinamakan maqam Khidr.
3.Peringkat ketiga ni seperti kehidupan Nabi Idris dan Nabi Isa. Nursi kata, peringkat ini kehidupan nurani yang menghampiri hayah malaikat.

4.Peringkat ni pula…ialah kehidupan para syuhada’. Mereka tidak mati, tetapi mereka hidup seperti disebut dalam al-Qur’an. Ustaz Nursi sendiri pernah musyahadah peringkat kehidupan ini.

5.Dan yang ni Hayah atau kehidupan rohani sekalian ahli kubur yang meninggal
Wallahhua’lam. Subhanaka la ‘ilma lana innaka antal ‘alimul hakim

Kisah Nabi Khidir Dalam Kitab Allamah Ibnu Hajar al Asqalani

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Tafsir:
Bercerita kepadaku ayahku, yang didengarnya dari Abdul Aziz Al-Ausiy, dari Ali bin Abu Ali, dari Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain, dari ayahnya, katanya Ali bin Abi Talib berkata: .
Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah ucapan takziah. Datang kepada mereka (keluarga Nabi SAW) orang yang memberi takziah. Mereka mendengar orang memberi takziah tetapi tidak melihat orangnya. 
Bunyi suara itu begini :
.Assalamu Alaikum Ahlal Bait Warahmatullahi Wabarakatuh. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanyasanya disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah bagi setiap musibah, bagi Allah ada pengganti setiap ada yang binasa, begitu juga menemukan bagi setiap yang hilang. Kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala..

Berkata Imam Ja'far as Shadiq :
.Bercerita kepadaku ayahku bahawa Ali bin Abi Talib ada berkata : .
Tahukah kamu siapa ini? Ini adalah suara Nabi Khidir..

Berkata Muhammad bin Ja'far : .
Adalah ayahku, yaitu Ja'far bin Muhammad, menyebutkan tentang riwayat dari ayahnya, dari datuknya, dari Imam Ali bin Abi Talib bahawa datang ke rumahnya satu rombongan kaum Quraisy kemudian dia berkata kepada mereka: .

Maukah kamu aku ceritakan kepada kamu tentang Abul Qasim (Muhammad SAW)?. 
Kaum Quraisy itu menjawab: .

Tentu saja mau..

Imam Ali bin Abi Talib berkata: .
Jibril Alaihis salam pernah berkata kepada Rasulullah SAW :
.Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Ahmad. Inilah akhir watanku (negeriku) di bumi. Sesungguhnya hanya engkaulah hajatku di dunia.. Maka tatkala Rasulullah SAW wafat, datanglah orang yang memberi takziah, mereka mendengarnya tetapi tidak melihat orangnya. Orang yang memberi takziah itu berkata: .Selamat sejahtera ke atas kamu wahai ahli bait. Sesungguhnya pada agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan bagi Allah ada yang menggantikan setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala.. Mendengar yang demikian Imam Ali bin Abi Talib berkata: .Tahukah kamu siapa yang datang itu? Itu adalah Khidir..

Berkata Saif bin Amr At-Tamimi dalam kitabnya Ar-Riddah, yang diterimanya dari Said bin Abdullah, dari Ibnu Umar mengatakan: .Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah Abu Bakar ke rumah Rasulullah. Ketika beliau melihat jenazah Rasulullah SAW, beliau berkata: .
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.. Kemudian beliau bersama sahabat-sahabat yang lain menyembahyangkan jenazah Rasulullah SAW. Pada waktu mereka menyembahyangkan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendengar suara ajaib. Selesai solat dan mereka pun semuanya sudah diam, mereka mendengar suara orang di pintu mengatakan: .Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Ahli Bait. Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Hanya saja disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat.

Sesungguhnya pada agama Allah ada pengganti setiap ada yang binasa dan ada kelepasan dari segala yang menakutkan. Kepada Allah-lah kamu mengharap dan dengan-Nya berpegang. Orang yang diberi musibah akan diberi ganjaran. Dengarlah itu dan hentikan kamu menangis itu."

Mereka melihat ke arah suara itu tetapi tidak melihat orangnya. Kerana sedihnya mereka
menangis lagi. Tiba-tiba terdengar lagi suara yang lain mengatakan: .
Wahai Ahli Bait, ingatlah kepada Allah dan pujilah Dia dalam segala hal, maka jadilah kamu golongan orang mukhlisin. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan ada pengganti setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya taat. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah orang yang diberi pahala.. 
Mendengar yang demikian itu berkata Abu Bakar: .
Ini adalah Khidir dan Ilyas. Mereka datang atas kematian Rasulullah SAW..

Berkata Ibnu Abu Dunia, yang didengarnya dari Kamil bin Talhah, 
dari Ubad bin Abdul Samad, dari Anas bin Malik, mengatakan: .
Sewaktu Rasulullah SAW meninggal dunia, berkumpullah sahabat-sahabat beliau di sekeliling jenazahnya menangisi kematian beliau. Tiba-tiba datang kepada mereka seorang lelaki yang bertubuh tinggi memakai kain panjang. Dia datang dari pintu dalam keadaan menangis. Lelaki itu menghadap kepada sahabat-sahabat dan berkata: .Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, ada pengganti setiap ada yang hilang. Bersabarlah kamu kerana sesungguhnya orang yang diberi musibah itu akan diberi ganjaran..

Kemudian lelaki itu pun menghilang daripada pandangan para sahabat.
Abu Bakar berkata: 
.Datang ke sini lelaki yang memberi takziah.. Mereka memandang ke kiri dan kanan tetapi lelaki itu tidak nampak lagi. Abu Bakar berkata: .Barangkali yang datang itu adalah Khidir, saudara nabi kita. Beliau datang memberi takziah atas kematian Rasulullah SAW..
Berkata Ibnu Syahin dalam kitabnya Al-Jana.iz: .
Bercerita kepada kami Ibnu Abu Daud, dari Ahmad bin Amr, dari Ibnu Wahab, dari Muhammad bin Ajlan, dari Muhammad bin Mukandar, berkata: .
Pernah pada suatu hari Umar bin Khattab menyembahyangkan jenazah, tiba-tiba beliau mendengar suara di belakangnya: janganlah mendahului dari kami mengerjakan solat jenazah ini. Tunggulah sudah sempurna dan cukup orang di belakang baru memulakan takbir.. Kemudian lelaki itu berkata lagi: .Kalau engkau siksa dia ya Allah, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada-Mu. Tetapi kalau Engkau mahu mengampuni dia, maka dia betul-betul mengharap keampunan dari-Mu..Umar bersama sahabat-sahabat yang lain sempat juga melihat lelaki itu. Tatkala mayat itu sudah dikuburkan, lelaki itu masih meratakan tanah itu sambil berkata: .Beruntunglah engkau wahai orang yang dikuburkan di sini.

KISAH NABI KHIDIR AS

Salah satu kisah Al-Qur’an yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah SWT memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al-Kahfi: 60)
Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma’ al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majmaal-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.

Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Qur’an tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.

Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Qur’an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur’an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:
“Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65).

Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as.

Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak-geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT.

Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur’an telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.

Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Qur’an.

Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.”
Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu-Nya?” Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.

Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.

Musa berkata kepada pembantunya: “Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu.” Pemuda atau pembantunya berkata: “Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: “Coba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini.”

Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: “Demikianlah yang kita inginkan.” Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.
Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Qur’an: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ” (QS. al-Kahfi: 61-65).

Bukhari mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: “Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab: “Aku adalah Musa.” Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil.” Musa berkata: “Dari mana kamu mengenal saya?” Khidir menjawab: “Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya.” Khidir berkata: “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.”

Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: “Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.” Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.

Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi.
Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al-Kahfi:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70).

Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.
Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: “Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya.” Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.” Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.

Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya.
Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.

Kemudian datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.” Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.

Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan.
Allah SWT berfirman:
“Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82).

Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan.

Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka.

Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya.

Pertama, firman-Nya:
“Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”

Kedua, perkataan Musa kepadanya:
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ Musa berkata: ‘lnsya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,’” (QS. al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawaban yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.

Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya.

Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
“Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ” (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah SWT.

Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: “Musa berkata kepada Khidir: “Berilah aku nasihat.” Khidir menjawab: “Mudah-mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para n

Nama, Laqab, dan Kuniyah Nabi Khidhir

Khidir adalah salah satu nabi yang termuat dalam Al-Qur`an namun tidak dimasukkan dalam 25 Nabi dan Rasul karena dia hanya Nabi (bukan rasul) bahkan ada pendapat lain mengatakan bahwa ia hanya seorang wali. Khidir diceritakan sebagai Nabi misterius yang diberi anugerah bisa mengetahui kejadian yang akan terjadi, dan sering bertindak menyalahi aturan yang ada seperti membunuh dan  merusak kapal orang,  namun semua tindakannya penuh dengan hikmah dan pelajarn yang dalam. Untuk mengetahui ceritra lengkapnya silakan merujuk pada Al-Qur`an Surah Al-Kahfi ayat 65-82.
Ada kepercayaan ditengah masyarakat terutama di Negara kita Indonesia bahwa barang siapa mengetahui, nama lengkap, laqab, dan kuniyah Nabi Khidir maka akan mendapatkan “keutamaan yang luar biasa”. Entah siapa yang melontarkan pernyataan tersebut, yang jelas itu sudah menjadi rahasia umum terutama dikalangan pesantren dan lebih khusus lagi  dikalangan  para praktisi ilmu hikmah.
Tidak sulit mencari nama, laqab, dan kuniyah Nabi Khidir ini. Nama beliau sering  dijelaskan dalam tafsir yaitu pada surah Al-Kahfi ayat 65-82.

Nama Nabi Khidir

 Tafsir Ruhul Bayan

اسمه بليا بباء موحدة مفتوحة ثم لام ساكنة ثم مثناة تحت ابن ملكان بفتح الميم وإسكان اللام ابن فالغ بن عابر بن شالخ بن ارفخشذ بن سام بن نوح
Balya Ibnu Malkan Ibnu Faligh Ibnu Abar Ibnu Syalikh Ibnu Arfakhsyadz Ibnu Sam Ibnu Nuh AS.
Pendapat Ibnu Munabbih Yang di Kutip Qurtuby dalam Tafsirnya:

أيليا ابن ملكان بن فالغ بن شالخ بن أرفخشذ بن سام بن نوح
Ailiya Bin Malkan Bin Faligh Bin Syalikh Bin Arfakhsyadz bin Sam Bin Nuh AS.

Nama Ibu Nabi Khidir
Disbutkan dalam Tafsir Qurtuby, nama ibu beliau:
ألمى بنت فارس
Alma Bintu Faris

Kuniyah Nabi Khidir

أبو العباس
Abul Abbas

Laqab Nabi Khidir

Laqab adalah gelar atau nama aliyas. Laqab beliau adalah:
الخضر
bisa dibaca Khidir, Khadir, Khidru Artinya hijau. Banyak pendapat tentang sebab pemberian gelar tersebut salah satunya bahwa jika beliau duduk disatu tempat maka tempat tersebut akan berubah warnanya menjadi hijau.

abi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.♦

Kisah Nabi Khidir AS

Kisah Perjalanan Ladunni Nabi Musa AS bersama muridnya serta Nabi Khaidir AS merupakan kisah yang telah lama kita kenal dan sebut-sebutkan untuk menjadi contoh tauladan kepada manusia yang berilmu. Kisah ini mengandungi pengertian yang sangat dalam dalam ertikata mengenal Sang Pencipta yang Maha Besar. Di mana tempat ‘jumpanya’ ilmu itu? Itulah dia di tempat pertemuan antara dua laut. Di situlah bermulanya Ladunni yang di sebut-sebut para Ahli Sufi. Kisah perjalanan Ladunni Nabi Musa AS dan Nabi Khaidir AS dinukilkan di dalam terjemahan Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Kahfi (ayat 60 hingga 82). semoga mendapat manfaat bersama.

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.

Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”.

Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun”. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidir) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”

Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidir berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”

Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.

Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.

Itulah kisah perjalanan Musa AS bersama Khidir AS. Itulah dia Ilmu yang diajarkan Allah kepada Khaidir AS yang di sebalik Hitam dan Putih.

…di mana ada aku, di situ ada DIA…
sumber: http://nur-asysyahadatain.blogspot.com/2012/09/nabi-khidir-dan-nabi-ilyas-hidup-sampai.html