Oleh: Shaykh Umar Ibrahim Vadillo
Pengangguran bukanlah akibat tenaga kerja manusia diganti oleh kehadiran mesin-mesin. Ini tidak benar.
Mesin
memang bisa menggantikan kerja manusia, tetapi ini tidak membuktikan
bahwa pengangguran terjadi akibat teknologisasi proses-proses produksi,
kecuali jika kita menganggap bahwa satu-satunya cara untuk meraih
pendapatan adalah dengan menjadi seorang pekerja yang bekerja demi upah.
Dan ini pun tidak benar.
Sebelum anda
menganggap bahwa bekerja adalah menjadi seorang pekerja, kita harus kaji
lebih dahulu apa sebenarnya yang memaksa kita menjadi pekerja, sehingga
kita tidak mampu memiliki usaha sendiri (berswakarya). Mengapa tidak
kita ganti saja istilah “penganggur” (tuna-karya) menjadi
"tuna-swakarya"?
Mengapa tiba-tiba khalayak
digolongkan sebagai pekerja atau penganggur, padahal sejarah membuktikan
bahwa di masa silam sebagian besar khalayak berswakarya? Benarkah biang
keladi pengangguran adalah teknologisasi proses-proses produksi? Salah,
di sinilah justru kebohongannya.
Riba adalah
satu-satunya penyebab keadaan yang konon disebut sebagai "pengangguran",
atau lebih tepat, ribalah satu-satunya penyebab musnahnya berkesempatan
untuk berswakarya.
Inti sari bisnis dan usaha adalah
perdagangan, yaitu membeli lalu menjual. Selama masih ada orang yang
memiliki sesuatu, dan masih ada orang yang ingin memiliki sesuatu,
perdagangan akan selalu ada. Perdagangan tidak akan berkurang dengan
adanya mesin-mesin, karena mesin tidak memiliki barang dagangan, mesin
hanya bisa dijadikan sebagai alat produksi atau untuk aneka kegunaan
lain. Para pekerja dapat digantikan oleh mesin-mesin, tetapi pedagang
tidak.
Perdagangan tidak bisa dimusnahkan oleh
mesin-mesin, namun bisa punah dengan adanya bunga sistem perbankan, yang
apapun istilah maupun jenisnya, tetap saja riba.
Tingkat suku bunga bank berfungsi sebagai rintangan yang akan mematikan setiap usaha yang berada di bawahnya.
Jika
suku bunga bank adalah 10%, maka tak seorangpun akan menanam modal
dalam proyek usaha baru apapun yang berancar-ancar akan berbagi hasil
sejumlah 6% dari modal; dan bila anda sedang melangsungkan usaha dengan
bagi hasil 6%, maka anda akan terpikat untuk melego saja usaha anda dan
menimbun uangnya di bank. Dengan demikian setiap usaha yang berada di
bawah suku bunga 10% itu akan punah.
Margaret
Thatcher dan para pakar moneter menyebut hal itu sebagai "penyingkiran
usaha-usaha yang tidak berdaya saing", demi meningkatkan "daya saing"
negara. Namun mereka tidak menyatakan bahwa sebenarnya terdapat jauh
lebih banyak usaha yang bisa dijalankan dengan keuntungan yang sangat
kecil. Usaha yang bisa berkeuntungan besar hanya segelintir, yang lebih
banyak adalah usaha-usaha berkeuntungan kecil. Dan sebagian besar
usaha-usaha yang untungnya kecil itu adalah usaha kecil. Jadi
sesungguhnya, fungsi suku bunga tadi adalah pemusnahan kesempatan hidup
bagi mayoritas usaha kecil, demi peningkatan daya saing.
Jadi
bagaimana mungkin pemusnahan usaha-usaha kecil bisa disebut sebagai
“peningkatan daya saing”, padahal kita memahami bahwa lebih baik ada 20
usaha kecil, dibanding dengan hanya satu usaha yang 20 kali lipat lebih
besar? Apalagi manajemen swakarsa tentu lebih luwes dibanding manajemen
birokratis piramidis. Di sinilah perbedaan antara perusahaan swakarya
dengan perusahaan raksasa. Hal ini pula yang seharusnya menjadi nilaih
lebih pasar bebas dibanding komunisme.
Jadi
tujuan mereka "meningkatkan daya saing" adalah, agar hanya
perusahaan-perusahaan besar saja yang bisa hidup, berkat raibnya
gangguan dari usaha-usaha kecil pesaingnya, dan tentunya berkat
berubahnya para pengusaha mandiri itu menjadi tenaga kerja murah dan
rendah diri.
Dampak dari uang kertas yang
dibuat seolah-olah ada nilainya dan tersedia dalam jumlah yang besar
adalah: pembasmian usaha-usaha kecil. Tingkat suku bunga secara paksa
telah merubah khalayak pengusaha mandiri menjadi pekerja-pekerja upahan
yang sangat taat dan menghamba. Dan semua proses ini telah berlangsung
selama berabad-abad.
Kini kita telah kembali
mencapai puncak feodalisme baru. Socrates dengan tegas menyatakan bahwa
upah itu khusus untuk para kacung dan budak. Kini kita semua telah
dijadikan kacung dan budak. Terbebasnya masyarakat dari feodalisme abad
pertengahan1 ditandai oleh kemerdekaan masyarakat untuk berswakarya atau
untuk memilih bentuk pendapatannya sendiri. Hingga 150 tahun yang lalu,
bekerja untuk orang lain masih dianggap sebagai sesuatu yang hina, yang
hanya dilakukan secara sementara karena ditimpa krisis, atau terbatas
dilakukan oleh mereka yang tak mampu mandiri. Dengan kehadiran
bank-bank, keadaan itu dengan cepat berubah menjadi keadaan di mana
khalayak mau tidak mau harus bekerja untuk orang lain, karena jika tidak
mereka tak akan bisa memiliki apapun.
Awalnya,
para bankir merekayasa 'kekuatan pasar' (melalui tingkat suku bunga)
supaya manusia-manusia mandiri dijadikan "para pekerja" dan selanjutnya
ketika suku bunga semakin didongkrak maka para pekerja pun menjadi
penganggur. Dosanya bukan karena saya tidak bisa mendapat pekerjaan,
namun karena saya telah dikutuk untuk bekerja bagi orang lain, karena
saya tidak punya kesempatan secelah pun untuk berswausaha dan
berswakarya, baik sendirian maupun, misalnya, bersama 50 orang lainnya.
TIMBULNYA SOSIALISME
Sosialisme
lahir untuk memerangi keadaan yang mengerikan itu. Sosialisme pada masa
awal kejadiannya, sama sekali berbeda dengan Sosialisme menurut
anggapan kita kini, bukan saja berbeda bahkan bertentangan. David
Ricardo (salah satu ekonom yang jadi panutan Karl Marx), menyatakan
bahwa penyebab pengangguran adalah kehadiran mesin-mesin saat revolusi
industri. Namun kaum sosialis tidak puas dengan kesimpulan itu.
Bakunin
menetapkan bahwa sosialisme adalah "peruntuhan negara". Yaitu negara
sebagai penyelenggara pemungutan pajak, yang hasilnya berperan mutlak
demi pembayaran utang negara kepada bank-bank (sebagaimnaa yang kini
terjadi), padalahl pajak merupakan perintang perdagangan.
Di
Dresden, Richard Wagner merumuskan bahwa revolusi adalah "pemerintahan
tanpa negara, dan perniagaan tanpa riba". Joseph Pierre Proudhon pun
menuduh riba sebagai "biang kerok kelumpuhan industri".
Sosialisme
merupakan perlawanan pada negara administratif dan pada bank-bank, demi
menegakkan pemerintahan tanpa pajak-pajak, dan perdagangan tanpa
bank-bank.
Pembajakan Atas Sosialisme
Karl
Marx, cucu seorang rabbi Yahudi, di bawah penugasan Mr. Rotschild
(atasannya dari freemason Inggris), membuat teori nilai tambah (surplus
value) dengan menyelewengkan makna riba.
Dalam
bahasa Ibrani (bahasa Yahudi), riba disebut tarbith, yang arti
harfiahnya adalah peningkatan nilai. Dagang tidak sama dengan riba.
Dagang adalah mendatangkan keuntungan dari membeli dan menjual,
setidaknya ada dua transaksi yang terjadi. Riba adalah mengambil untung
dari satu transaksi, menuntut lebih dari yang sedikit (contohnya
membungakan uang).
Marx berkata bahwa perdagangan menciptakan
nilai tambah (atau riba), sedangkan transaksi ribawi tidak akan
menciptakan nilai tambah (riba). Seiring dengan itu Marx mengagungkan
konsep Negara yang secara munafik disebutnya sebagai Worker's State
(Negara Milik Para Pekerja), lalu dia pun meninggikan derajat sang
pekerja upahan menjadi sesuatu yang sangat ideal dan bernilai
kepahlawanan tinggi (bukannya sebagai keterpaksaan menjadi hamba negara
dan hamba para bankir). Dengan pertolongan para freemason (The Fraternal
Democrats – Persaudaraan Demokrat, the League of the Just –Liga
Keadilan, dan lainnya), Karl Marx telah merampas revolusi Eropa milik
Proudhon dan Bakunin, dan menjelmakannya menjadi kebalikannya.
Sosialisme modern bukanlah sosialisme (peruntuhan Negara), sosialisme modern adalah Marxisme.
Pengkhianatan Serikat Buruh-isme
Serikat
Buruh-isme adalah menyerah pada kekacungan. Serikat-serikat Buruh tidak
mempertanyakan mengapa kita harus menjadi budaknya upah, namun tujuan
utama perjuangan mereka adalah demi meningkatkan upah para pekerja.
Serikat Buruh tidak akan pernah menyelesaikan masalah pengangguran,
karena mereka telah pasrah menerima tegaknya sistem perbankan yang telah
mengutuk mereka jadi pekerja yang tidak akan pernah bisa berswausaha.
Jadi,
bukannya berjuang demi khalayak kelas pekerja, Serikat Buruh-isme malah
menjamin bahwa akan selalu tersedia khalayak kelas pekerja. Terpujilah
Serikat-serikat Buruh, berkat perjuangan mereka kini orang-orang tidak
lagi bekerja 12 jam sehari demi upah yang memprihatinkan (setidaknya
begitulah nampaknya), walaupun yang sebenarnya dicapai oleh Serikat
Buruh hanyalah kacung yang sedikit lebih ceria. Dengan melakukan itu,
Serikat Buruh mencegah agar pokok masalah sebenarnya tidak digugat.
Serikat Buruh-isme adalah pemberontakan para budak melawan para Majikan,
seraya mengakui bahwa mereka tidak bisa menjadi Majikan. Andaikan
pilihan semata wayang hanyalah pengangguran, tentu saja mempunyai
pekerjaan menjadi penting. Namun hal ini tidak akan membuat semua orang
ceria selamanya
Serikat Buruh-isme sama dengan
Marxisme, tidak mengecam riba. Mereka mengabaikan kata ini. Berkat
mereka sistem perbankan jadi lestari
Untuk
menghilangkan sifat penghambaan kita pada dialektika menjadi pekerja
atau menjadi penganggur, kita harus membasmi riba, artinya sistem
perbankan harus dihapuskan. Selama kita masih bersama sistem perbankan,
kita tak akan bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita bekerja untuk
orang lain, dan orang lain itu adalah: para bankir yang memiliki
segalanya. Para bankir itu siap untuk menghukum para kacungnya dengan
ancaman kehilangan pekerjaan dan hidup bergantung pada belas kasih
negara. Ketakutan psikologis ini menyapu bersih kesempatan untuk
berfikir bebas. Akhirnya yang ada adalah para kacung yang jauh lebih
picik dibanding para majikannya. Mereka telah membuat khalayak takut
pada perubahan sekecil apapun, karena takut kehilangan sesuap nasi yang
telah dijanjikan.
Kita dicekoki bahwa inilah
yang "praktis" itu. Walhasil, tak heran jika kita lihat betapa gigihnya
para kacung membela sistem perbankan, walaupun mereka adalah salah
seorang dari 90.000 warga (di Inggris) yang setiap tahun harus
kehilangan rumahnya, gara-gara tidak bisa membayar jahatnya bunga
cicilan. Perbankan sudah menjadi "agama" yang ortodoks, bahkan sudah
menjadi sebuah tabu (pamali). Untung saja masih ada orang-orang yang
tidak percaya pada “agama” ini dan ingin berbuat sesuatu untuk
mengatasinya.
Lantas, Bagaimana caranya kita mencampakkan sistem perbankan?
Pertama,
mari kita pahami dahulu bagaimana cara kerja bunga bank. Bank-bank itu
berfungsi seolah penyebar ulang uang yang berasal dari simpanan kita.
Mereka mendapatkan uang dari kita semua, lalu meminjamkannya pada orang
lain. Mereka tidak meminjamkan uang tersebut kepada sesiapa yang paling
jujur, atau kepada proyek usaha mana yang paling bermanfaat bagi
masyarakat. Mereka tak peduli hal itu. Bank-bank hanya akan meminjamkan
uang kepada sesiapa yang memiliki agunan yang memadai, tak peduli apapun
tujuan usahanya. Boleh jadi usaha itu sangat bejat, namun asalkan anda
punya agunan maka anda akan mendapatkan pinjaman. Sebaliknya, walau
seseorang memiliki proyek yang sangat menjanjikan, bisa jadi tidak akan
dapat pinjaman karena dia tidak mempunyai agunan yang memadai. Jelas ini
bukanlah sistem terbaik bagi masyarakat. Sistem terbaik dan teradil
bagi masyarakat adalah, jika sistem itu bisa menjamin bahwa modal milik
masyarakat akan ditanamkan pada proyek-proyek terbaik, terlepas dari
apakah si pengusaha itu kaya atau tidak. Dikatakan pada para pekerja:
Kamu tidak boleh mengelola bisnis-bisnis besar, karena terus terang saja
siapa sih kamu? Kamu tidak punya uang. Kamu hanya boleh bekerja demi
upah. Maka tak heran jika berduyun-duyun pekerja lebih sungguh-sungguh
membina hubungan suci mereka dengan bank, ketimbang hubungan mereka
dengan agamanya, bahkan biasanya banklah yang menjadi keyakinan pegangan
mereka. Adapun sistem adil yang disebutkan barusan, hanya bisa dicapai
dengan penggunaan tertib kontrak gaya baru, yaitu kontrak-kontrak yang
mengaitkan keuntungan bagi hasil investasi kepada kegiatan usaha itu
sendiri, dan bukan kepada bunga.
Ketika bank-bank belum
berdiri, kontrak-kontrak yang berlaku dalam perdagangan adalah
kontrak-kontrak dari commenda dan perkongsian.
Commenda
adalah kontrak peminjaman uang untuk usaha, dengan demikian akan ada
untung atau rugi. Cara ini bertentangan dengan kontrak ribawi, di mana
bank meminjamkan uang tanpa peduli kemungkinan kerugian usaha, bank
hanya mau untungnya. Dalam kontrak ribawi, anda tidak menanam modal demi
kepentingan usaha, melainkan demi keuntungan dari kontraknya saja.
Bunga atas pinjaman sama dengan menyewakan uang, walaupun pada uang
tidak ada "benda" yang bisa disewa. Bunga adalah mengeduk untung tanpa
memberi manfaat apapun.
Bentuk kontrak lainnya
adalah perkongsian. Inti sari perkongsian adalah pengalihan tanggung
jawab atas barang/jasa kepada orang lain, dan orang lain pun melakukan
hal yang sama kepada anda. Dalam pengalihan barang/jasa dari orang ke
orang ini, kita akan menemukan dasar-dasar dalil yang revolusioner:
membangun usaha tanpa perlu modal keuangan, artinya melakukan usaha
tanpa harus memiliki modal atau memiliki usahanya. Ini adalah sesuatu
yang tidak terpikirkan oleh manusia modern. Menakjubkan! Dahulu
usaha-usaha biasa berlangsung tanpa bergantung pada modal. Perkara ini
tidak ada kaitannya dengan sistem Bursa Saham yang busuk itu, melainkan
berkaitan dengan pembentukan guilds sebagai badan-badan pemodal mandiri
non formal, yang kini sudah dipunahkan oleh bank-bank. Kabar barunya
adalah bahwa untuk menjadi pengusaha, anda tidak perlu jadi pemilik
barang/jasa. Anda tidak memerlukan bank, yang anda perlukan adalah
orang. Ini kabar buruk bagi bank-bank. Sistem sedemikian dapat berfungsi
bila di antara kita ada sifat saling percaya. Dan sifat inilah yang
menyebabkan kita dapat mandiri, hingga tak perlu bekerja demi upah.
Sifat ini pula yang menjadi syarat hidupnya sistem commenda dan
perkongsian. Dan semua ini adalah dasar-dasar bagi tegaknya pembaharuan
dunia.
Bagaimanakah cara bank-bank menghapus
sistem kontrak commenda, dan menggantinya dengan pinjaman berbunga? Dan
bagaimana pula bank-bank dapat menjelmakan orang-orang yang bersyarikat
dalam perkongsian menjadi orang-orang pengais upah?
Bank-bank
menciptakan barang baru. Mereka ciptakan sistem uang kertas. Bahkan
perbankanlah sistem uang kertas. Pada awalnya, kemampuan sistem ini
cukup menakjubkan. Bank-bank dapat menarik 1000 pound emas dan kemudian
meminjamkan 20 kali lipatnya; yaitu 20.000 pound dalam bentuk kertas,
artinya menciptakan kredit dari nihil.
Pada
masa itu, bank-bank (yang semuanya dikuasai oleh para Yahudi) diundang
ke mana-mana di Eropa, karena mereka bisa mendatangkan uang dari nihil.
Pada awalnya masyarakat terpesona, sebab mendadak di kota ada perputaran
uang yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Usaha-usaha baru pun
bermunculan di mana-mana. Bahkan bank menawarkan kertas-kertas yang
bertuliskan angka-angka yang bernilai lebih tinggi dari emas yang hendak
ditukarkan. 10 pound kertas diobral untuk ditukar 5 pound emas. Tak
seorangpun bisa tahan godaan ini. Namun masalahnya, uang kertas itu
bagaikan candu, efek pertamanya hebat lalu anda akan kecanduan. Dan
beberapa tahun kemudian, ketika badai telah berlalu, baru khalayak sadar
bahwa kini semua uang emas telah dikuasai oleh segelintir orang baru,
sedangkan khalayak sisanya tidak lagi punya uang emas. Dan ketika
khalayak menyerbu bank untuk menukarkan kembali lembaran-lembaran kertas
itu dengan emas, diumumkanlah bahwa nilai uang kertas telah anjlok,
bahwa mereka hanya bisa memperoleh emas senilai 1/100 dari nilai
tertulis di kertas, atau pilih untuk terus memakai kertas-kertas itu.
Khalayak telah ditipu. Kini, atas nama peradaban, proses yang sama pun
sedang berlangsung di Nigeria utara. Mari kita tegaskan: Inflasi yang
diakibatkan oleh pemaksaan satu alat tukar (yang dikendalikan oleh bank)
adalah perampokan. Dan tidak mengijinkan khalayak untuk memilih alat
tukarnya sendiri adalah penipuan.
Tingkat suku
bunga perbankan telah membasmi usaha-usaha kecil. Mereka telah
mengumpulkan lautan harta (uang-kredit) dan telah merekayasa
penyalurannya hanya kepada perusahaan-perusahaan besar milik segelintir
orang. Mereka tidak membuka kesempatan secelah pun bagi tumbuhnya
perkongsian. Seluruh revolusi teknologi yang katanya demi manusia, telah
dibajak oleh sistem perbankan dan dijelmakan jadi monster biadab.
Dahulu
ketika Eropa sibuk menjajah, masalah perampokan abadi dengan
menggembosi nilai uang kertas ini tidak terlalu mencemaskan khalayak,
karena berhasil diredam oleh pasokan besar-besaran aneka jarahan dari
koloni-koloni jajahan, sehingga mengesankan bahwa keadaan baik-baik
saja. Akan tetapi begitu hutang koloni-koloni di Dunia Ketiga itu
mencapai titik jenuhnya, artinya mereka sudah tidak bisa dijarahi lagi,
maka bahaya laten sistem ribawi itu mulai bangkit menyusupi rumah mereka
sendiri. Jadi di masa kini, bukan hanya Dunia Ketiga saja yang hidup
tertekan ditimpa hutang abadi, khalayak di Dunia Pertama pun kini sudah
hampir gila menghadapinya.
Kita semua telah
dijadikan kacung oleh sistem perbankan, karena mereka memusnahkan
kesempatan hidup usaha-usaha kecil, dan lebih-lebih lagi, mereka telah
menjadikan kita sebagai penghutang-penghutang abadi. Gara-gara Negara
berhutang, kita pun terlahir sebagai penghutang (bagaikan “dosa asal”),
dan dengan kemampuan mereka memonopoli dan merekayasa kekuatan-kekuatan
pasar, mereka menjamin bahwa semua upah yang akan mereka keluarkan untuk
anda selama 20 tahun mendatang, akan tersedot kembali kepada mereka
(para Majikan) karena anda membayar cicilan rumah yang harganya sudah
dipompa berkali lipat. Kalau tidak mau begini, anda bisa menyewa rumah
anda dan tak perlu punya apa-apa, cukup para Majikan saja yang memiliki
segalanya, dan cukup anda saja yang bekerja.
Tentu
ini adalah tawaran yang sangat busuk. Serikat-serikat Buruh tidak akan
membela para pekerja. Mereka akan berusaha agar para pekerja masuk kerja
terus. Semua partai politik adalah dagelan dan tak akan mampu
benar-benar membawa pembaharuan bagi masyarakat, karena semua kebijakan
mereka bergantung pada bank. Sebelum kita belajar untuk hidup tanpa
bank-bank, kita akan terus menjadi kacung-kacungnya. Kepercayaan adalah
ajang di mana kontrak-kontrak commenda dan perkongsian bisa berjaya
lagi. Dan ajang itu hanya bisa digalang dengan menerapkan
kontrak-kontrak usaha yang tidak bergantung pada bank, melainkan cukup
pada wewenang seseorang yang mandiri dan mewakili khalayak. Dengan kata
lain, kita harus menghidupkan kembali bentuk-bentuk wewenang tradisional
yang bersifat lokal, misalnya seperti Kepala-kepala marga di
Skotlandia, Kepala-kepala suku di Afrika, para Lendakari di lembah
negeri Basque, Amir-amir di Arab, atau seperti kepala-kepala keluarga
mafia di Sisilia. Kepemimpinan masyarakat yang kini dikuasai perbankan
harus direbut kembali.
Jika kita sadar bahwa
bank-bank telah menipu kita dan kita ingin terbebas darinya, maka kita
harus mengalihkan tumpuan kepercayaan kita kepada pihak lain. Pada
akhirnya sang pemimpin sebuah masyarakat harus bisa menjamin
penyelenggaraan hukum-hukum dan dipenuhinya kontrak-kontrak, sehingga
tumbuhlah saling percaya antar warga. Salah satu contoh ini adalah
Mafia. Sayangnya, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa yang
dapat membuat kontrak di antara mereka, dengan kepemahaman bahwa kontrak
itu akan dipenuhi. Karena tak ada seorangpun yang berani berbuat
keliru, dan khalayak Mafia punya rasa saling percaya yang sangat tinggi,
dengan cara mereka sendiri yang tidak mungkin dilaksanakan di luar
lingkaran mereka. Sayang, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa
yang bisa mengejawantahkan kepemimpinan.
Unsur
terpenting untuk terbebas dari tirani sistem moneter bank dan aneka
praktek ribawinya, adalah dengan adanya pihak yang diberi wewenang
secara lokal, yaitu dalam jangkauan masyarakatnya. Tanpa adanya
pengemban amanah itu, banklah yang akan berwenang, yang akan mendikte
langkah-langkah kebijakan semua bangsa, dan kita akan terkutuk jadi
kacung-kacung upahan mereka. Jika anda ingin keluar dari perangkap ini,
anda harus bergabung bersama mereka yang sepaham, pilihlah seorang
pemimpin dan nyatakanlah diri anda merdeka dari jeratan riba. Di luar
sana, banyak orang sedang melakukan hal yang sama.
Satu-satunya
jalan keluar dari sistem ribawi adalah Islam. Karena hanya Islamlah
yang menegakkan pemerintahan tanpa negara dan perniagaan tanpa riba.
Zaman yahudi dan kristen telah kadaluwarsa. Hanyalah dengan memahami
bahwa "tiada tuhan selain Allah", baru manusia bisa berhenti menyembah
segala sesuatu yang fana – seperti negara, uang dan pekerjaan mereka –
dan menjadi merdekalah mereka. Hanyalah dengan membenarkan bahwa
“Muhammad ialah Utusan Allah”, baru akan tegak keadilan dalam transaksi.
Pilih Islam atau Ekonomi, pilih Islam atau Sistem Perbankan, inilah
keputusan yang harus diambil oleh setiap insan.
Islam adalah Pemerintahan tanpa negara dan Perdagangan tanpa riba!
No comments:
Post a Comment