Tuesday 4 February 2014
Basmalah: Tinjauan Sufistik
[KH JALALUDDIN RAKHMAT]
Ada cerita di kalangan sufi. Pada suatu hari Junaid Al-Baghdadi mikraj, naik ke langit. Pada perjalanannya,
ketika sampai pada langit pertama, ia melihat ada kumpulan malaikat
sedang ruku’ dan zikir. Junaid ditanya oleh para malaikat, “Hai Junaid,
bergabunglah bersama kami dengan berzikir mensucikan nama Tuhanmu.”
Junaid menjawab, “Tidak. Ajakan kalian tidak aku kehendaki.” Lalu ia
naik ke tingkat yang kedua. Ia melihat ada kumpulan orang sedang ruku’.
Junaid diseru, “Hai Junaid, bergabunglah bersama kami.” Junaid menjawab,
“Tidak. Aku tidak ingin bergabung dengan kalian.”
Lalu ia naik ke tingkat ketiga. Ia melihat ada sekelompok orang yang
sedang sujud. Junaid diseru oleh mereka untuk bergabung. Junaid
menjawab, “Aku tidak ingin bergabung denganmu.”
Lalu sampailah ia pada suatu tempat yang lebih tinggi, yang disebut
Sidhratul Muntahâ. Pada tempat itu, ia mendengar perkataan, “Apa yang
kamu kehendaki, wahai Junaid?” Junaid berkata, “Aku berkehendak supaya
aku tidak mempunyai kehendak lagi.”
Inilah yang disebut sebagai puncak perjalanan tasawuf. Pada tingkat ini,
kalimat basmalah mempunyai kedudukan sama dengan kata kun. Jika orang
sudah sampai pada tingkat ini (mendahulukan kehendak Allah), ucapannya
adalah sebuah kebenaran.
Syekh Jawad Amuli menyebutkan contoh orang seperti ini adalah Abu Dzar
Al-Ghifari. Semua perkataan Abu Dzar adalah kebenaran. Rasulullah bahkan
pernah bersabda, “Di bawah naungan langit dan di atas permukaan bumi
ini tidak ada lidah yang lebih jujur selain lidah Abu Dzar.” Mengapa Abu
Dzar sampai pada tahap seperti itu? Karena, ia sudah sampai pada
tingkat tawakal kepada Allah; ia menyerahkan seluruh kehendaknya hanya
untuk Allah. Dalam kitab Nur Al-Tsaqalain disebutkan: Sesungguhnya
basmalah itu lebih dekat dengan nama Allah yang Mahaagung daripada
dekatnya hitam mata dengan putihnya. Basmalah adalah nama agung bagi
orang yang sudah mencapai derajat tertentu. Allah: Antara Kasih Sayang
dan Murka
Dalam basmalah itu terdapat asma-asma Allah yang menunjukkan sifat
jalâliyyah dan jamâliyyah. Asma-asma yang disebut dalam Basmallah adalah
Allah,Al-Rahmân, dan Al-Rahîm. Menurut Al-Razi, asma Allah menunjukkan
lafzh al-jalâlah. Allah adalah nama zat yang menunjukkan kebesaran-Nya.
Dengan kata Allah itu, ditunjukkanlah kekuasaan, ke-Mahabesaran, dan
ke-Mahatinggian Allah. Sesudah itu, Allah menyebut Al-Rahman dan
Al-Rahim. Dan itulah sifat jamâliyyah (sifat kasih sayang). Allah hanya
menggunakan satu nama untuk menggambarkan kebesaran-Nya, yaitu kata
Allah. Tapi untuk menggambarkan kasih sayang-Nya, Allah menggunakan dua
nama, yaitu Al-Rahman dan Al-Rahim. Ini menunjukkan bahwa kasih sayang
Allah jauh lebih besar, lebih banyak, dan jauh lebih tinggi daripada
ke-Mahakuasaan-Nya.
Kita tahu ada dua wajah Allah. Pertama, wajah Allah yang keras, yang
berat siksaan-Nya (Syadîd Al-’Iqâb). Inilah yang menunjukkan sifat
jalâliyyah. Kedua, wajah lain dari Allah yang Pengasih dan Penyayang;
wajah yang selalu siap mendengarkan keluhan dan penderitaan kita; wajah
yang setiap malam menunggu kita untuk datang berdialog dengan-Nya; wajah
yang selalu melimpahi setiap makhluk dengan anugerah-Nya, walaupun
makhluk-Nya itu setiap saat bertambah kemaksiatan dan kedurhakaan
kepada-Nya. Itulah wajah yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai
sifat-sifat jamâliyyah, yakni sifat-sifat keindahan Allah.
Dalam basmalah ditunjukkan bahwa sifat jamâliyyah Allah lebih besar
daripada sifat jalâliyyah-Nya. Kasih sayang Allah jauh lebih besar
daripada kemurkaan-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi diriwayatkan: Aku ingin
murka melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk-Ku. Tetapi Aku
melihat orang-orang tua yang ruku’ dan sujud, anak-anak yang menyusu
pada ibunya, dan binatang-binatang yang mencari makanan. Maka
berhentilah kemarahan-Ku. Jadi, kasih sayang Tuhan jauh lebih besar
daripada kemurkaan-Nya. Sehingga di dalam doa Kumayl, disebutkan Wahai
Zat yang lebih cepat rida-Nya. Tuhan memang murka juga. Tetapi rida-Nya
jauh lebih cepat.
Di majalah Ummat, saya membaca tulisan Bapak Alwi Shihab. Di
universitasnya, di Amerika Serikat, beliau menyaksikan orang-orang kafir
yang akhlaknya sangat bagus, yang mencurahkan perhatiannya kepada ilmu
dengan tidak memperhatikan hal-hal duniawi. Mereka masih kafir. Lalu
dalam pikiran beliau bergulat berbagai masalah: Bagaimana orang kafir
bisa begitu baik akhlaknya dan mengabdi kepada Allah? Bagaimanakah
(nasib) mereka di akhirat nanti? Yang menarik dari kesimpulan Alwi
Shihab adalah beliau menunjuk kepada besarnya kasih sayang Allah swt.
Kalau kita memikirkan betapa besarnya kasih sayang Allah daripada
murka-Nya, maka besar dugaan kita, kasih sayang Allah tidak hanya
meliputi orang-orang Islam, tetapi juga orang-orang kafir. Ustad Alwi
Shihab menduga bahwa orang-orang saleh yang agamanya berlainan akan
mendapat limpahan kasih sayang Allah swt juga.
Sebagian ulama mengatakan bahwa azab Allah juga berarti percikan kasih
sayang-Nya. Dalam hidup ini, seringkali Allah memberikan pelajaran, baik
berupa ujian maupun azab, kepada kita. Sebetulnya itu adalah percikan
dari kasih sayang Allah. Siksaan dan ujian yang kita terima dalam
kehidupan ini, tetap berasal dari samudera kasih sayang Allah swt.
Kita pernah menceritakan keluhan seorang sahabat kepada Nabi saw. Ia
mengeluh karena setelah masuk Islam dagangannya rugi dan tubuhnya sering
ditimpa penyakit. Ia berkata, “Ya Rasulallah, tubuhku sakit dan hartaku
hilang.” Lalu Nabi menjawab bahwa ujiannya itu adalah tanda dari kasih
sayang Allah, bukan tanda dari kemurkaan-Nya. Tak ada baiknya seseorang
yang tubuhnya tidak pernah sakit dan hartanya tidak pernah rugi. Karena,
apabila Allah mencintai seorang hamba, Allah akan coba ia dengan
berbagai ujian, Ujian adalah percikan kasih sayang Allah. Begitu juga
halnya dengan azab Allah yang Ia berikan pada hari akhirat nanti, ia
masih merupakan percikan dari rahmân rahîm-Nya.
Mungkin kita bisa memahami bahwa ujian-ujian yang Allah berikan kepada
kita di dunia adalah salah satu jalan guna mengangkat diri kita menjadi
orang yang lebih baik. Dan itu sudah merupakan sunatullâh. Orang yang
memiliki kualitas yang tinggi adalah orang-orang yang sudah teruji
berkali-kali. Seperti sebuah peribahasa di negeri Barat yang menyatakan:
Badailah yang membuat kuat bangsa Viking. [KH Jalaluddin Rakhmat adalah
Ketua Dewan Syura IJABI ]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment